Ternyata, benar adanya kalau cinta datang karena terbiasa.
.
.
.
Giana itu kenal Narra sudah hampir seluruh umur Giana. Dari yang awalnya Narra tinggal di komplek yang sama sampai akhirnya Narra pindah sebab keluarga Narra yang bangkrut. Dari yang lihat Narra sering didandani mama-nya dengan barang-barang branded sampai baju di seterika saja tidak. Intinya dari keluarga Narra sukses sampai yang untuk makan saja harus meminta bantuan ke keluarga Giana. Itu kenapa sayangnya Giana ke Narra itu sudah seperti adik sendiri, tidak bisa dikecualikan, karena Narra juga pada dasarnya memiliki sifat tau diri dan penuh sungkan, yang bikin Giana tidak bisa membiarkan Narra kesulitan.
"Kenapa murung? Sini cerita sama kakak, jangan dipendam sendirian." tanya Giana, tau sekali kalau Narra sedang tidak dalam kondisi yang baik. Terlihat dari matanya yang sembab dan kantung mata yang terlihat menghitam.
Narra mau sekali cerita, tapi saat Giana bertanya mengenai kondisinya. Tiba-tiba mulut Narra membeku, yang berakhir Narra menangis sembari menutup wajahnya dengan telapak tangan. Pertanyaan yang seperti itu selalu berhasil bikin Narra menangis tersedu-sedu.
Giana kaget, kalau dilihat dari intensitas nangisnya Narra. Giana yakin sekali kalau masalah yang Narra hadapi ini pasti berat. Maka dengan langkah pelan, Giana menghampiri Narra, kemudian memeluk tubuh Narra dengan sesekali menepuk punggung Narra dengan gerakan perlahan.
"C—cello— kak, Cello. Narra berantem, dia——."
"Udah, . . Udah." sela Giana. "Tenangin dulu baru ngomong. Puasin dulu aja nangisnya baru cerita. Nggak apa-apa kaka tungguin." sambung Giana masih setia pada kegiatannya untuk menenangkan Narra.
Akhirnya Narra mencoba menenangkan dirinya. Menarik nafas panjang yang kemudian Narra keluarkan dengan perlahan. Sungguh! Ini menyiksa Narra sejak kemarin tapi Narra terlalu kalut untuk terlihat tenang disaat hati dan otaknya selalu gelisah memikirkan kelanjutan hubungan Narra dan Cello.
Narra menghela nafas perlahan. "Kemarin gue berantem sama dia, sama-sama nggak ada yang mau kalah. Gue akui disini gue yang salah, tapi gue nggak suka sama cara dia yang marahin gue." ucap Narra yang sudah berhasil membawa dirinya untuk tenang. "Kaka tau 'kan selama gue pacaran sama Cello, perlahan kehidupan keluarga gue mulai membaik. Dari segi ekonomi, mental gue dan tentunya kebahagiaan gue. Dia memenuhi semua kebutuhan gue dan keluarga gue. Kaka bisa lihat seberapa sayangnya gue sama Cello, tapi kemarin gue benar-benar kecewa banget sama omongan dia. Cello bilang seharusnya gue bersyukur punya dia dalam hidup gue, seharusnya gue nggak ganjen ke cowok lain dan bikin dia sakit hati, dia bilang gue cewek gatel." jelas Narra, menatap lurus pada manik bening Giana yang dari tadi hanya diam menyimak cerita Narra.
"Gue tau keluarga gue udah jatuh miskin, nggak kayak dulu. Semenjak ada dia juga perlahan kehidupan gue normal lagi, tapi bukan berarti dia harus jatuhin harga diri gue 'kan?" timpal Narra sekali lagi.
Giana menghela nafas kasar. Kalau urusan begini rasanya Giana mau datangi langsung Cello lalu menampar cowok itu dengan keras.
"Untungnya gue debat sama dia di mobil, coba kalau diluar. Kacau yang ada."
"Tapi dia udah sadar belum sama kesalahannya?" tanya Giana.
Narra mengangguk. "Udah, dari kemarin dia ngatain gue juga udah langsung minta maaf, cuman gue masih sakit hati jadi gue diemin aja."
"Udah bisa berpikir jernih belum otak lo?" tanya Giana, yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Narra. "Kalau udah jernih, ketemuan lagi. Obrolin dengan kepala dingin, terus ungkapin semuanya dengan tutur kata yang baik supaya nggak ada kesalahpahaman lagi." sambung Giana, tidak ingin menggurui atau ikut menyebarkan api. Tapi meminta Narra untuk menemukan jalan keluarnya sendiri dengan berbicara langsung bersama Cello.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARRIED
Fanfic[COMPLETED] Tinggal di Indonesia dimana orang-orang menganut sekte perempuan tidak boleh lama-lama menunda pernikahan, membuat Giana harus dengan senang hati menerima perjodohan dari orangtuanya dengan Jevan, cowok yang notabenenya sudah memiliki ke...