18. tak ingin usai

4.4K 372 50
                                    

Pada kenyataannya, sesuatu yang digenggam dengan erat akan berakhir hancur.

.

.

.

Jevan menatap pantulan dirinya dari balik cermin, memperhatikan wajah dan tubuh bagian atas yang tidak tertutupi sehelai benang pun. Rambutnya yang basah, Jevan sisir ke belakang menggunakan jarinya. Sial! Jevan baru saja memaksa Giana melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan dalam kondisi marah, tapi Jevan tidak punya pilihan untuk menyudahi perdebatan mereka semalam.

Jevan menghela nafas berat, kembali mengingat obrolannya bersama Tio beberapa hari yang lalu saat Jevan mendatangi kantor Tio.

"Mas Tio pasti tau kedatangan gue disini untuk bahas hal lain selain bisnis."

"Intinya aja, gue males ngobrol sama orang goblok."

"Ini tentang gue sama Giana, yang nggak seharusnya mas ikut campur."

Tio tertawa sarkas. "Lo tau? Lo lagi ngomong sama kaka dari istri yang lo selingkuhi bangsat." maki Tio, menatap tajam manik legam Jevan.

"Gue tau! Gue serius, mas. Please, jangan terlibat dalam rumah tangga gue dan Giana, gue lagi berusaha menyelesaikan masalah ini." balas Jevan, masih terlihat tenang disana.

Tio menegakkan tubuhnya. "Lo nggak bisa ngelarang gue, dalam seminggu ini lo nggak bisa tegas sama pernikahan lo, gue pastiin pernikahan lo selesai, keluarga tau perlakuan lo dan Giana menemukan orang yang tepat. Gue nggak bisa lihat adik gue bersanding dengan laki-laki brengsek kayak lo, Giana terlalu baik untuk jadi istri lo, Jevan." jelas Tio, benar-benar menunjukkan keseriusannya pada apa yang baru saja diutarakan.

"Bangsat!" maki Jevan, memukul dinding dengan kuat hingga menciptakan luka.

Disisi lain, Giana terbangun sebab deringan ponsel Jevan yang terus mengganggu. Tangannya meraba sisi samping yang ternyata kosong, buru-buru Giana bangkit dan mengangkat panggilan, yang entah dari siapa.

"Kak Giana?" tanya seseorang di sebrang sana.

"Emm, . ." gumam Giana, langsung menjauhkan ponsel Jevan saat mendengar teriakan Narra.

"KAK GIANA YAAMPUN!" pekik Narra. "Lo nggak lupa 'kan siang nanti ada meeting sama kepala divisi? Kita mau bahas wajah baru untuk peluncuran produk kita. Ini udah jam sepuluh kak, lo tumben belum datang, please gue udah trauma waktu lo tiba-tiba mengajukan cuti dadakan." serbu Narra panjang lebar.

Pintu kamar mandi terbuka, Giana menoleh pada Jevan yang hanya terbalut handuk di pinggangnya. "Iya gue tau, selesai makan siang 'kan? Gue datang selesai makan siang, tolong urus berkas." balas Giana, melirik tubuhnya yang masih polos.

"Awas lo kalau telat, gue ngambek."

"Iya bawel." akhir Giana, meletakkan kembali ponsel Jevan, kemudian menatap Jevan yang sejak tadi juga sudah menatapnya.

"Sorry." ucap Jevan pertama kali.

Giana mendelik. "Basi!" balas Giana, menarik selimut menutupi tubuhnya.

"Kamarnya ke kunci, terus kunci cadangannya nggak ada." ucap Jevan, tersenyum mentereng yang bikin Giana ingin sekali memukul wajah Jevan. "Gue udah telfon Hema, tapi anaknya nggak angkat. Gue juga nggak tau, tumben banget." sambung Jevan, menjelaskan agar tidak mendapatkan amukan dari Giana.

"Terus kita disini terus gitu?" tanya Giana ketus.

Jevan berjalan ke lemari. Mengambil kaos untuk menutupi badannya. "Nggak sih! Gue udah suruh orang untuk kesini. Mending sekarang lo mandi, nggak lucu kalau nanti tiba-tiba pintu kebuka lo masih dalam keadaan begitu." saran Jevan, membuat Giana kembali memperhatikan penampilan dirinya.

MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang