If it's meant to be, it will be. You won't have to force, convince, or worry over it. Let it flow, let it be, and let it come to you. You're attracting everything you need. Trust the timing of your life.
.
.
.
Waktu pertama kali Giana membuka mata dari tidur nyenyaknya, Giana sudah mendapati Jevan berdiri didepan kaca, dengan kemeja putih yang digulung sebatas siku dan arloji yang melingkari pergelangan tangan Jevan. Sangat serasi, membuat Giana menatap takjub pada sang suami.
Diliriknya jam dinding, yang kemudian Giana berguling ke samping dengan masih memperhatikan Jevan. "Kok tumben jam delapan udah rapi?" tanya Giana. "Biasanya kamu berangkat jam sembilan atau nggak jam sepuluh." sambung Giana dengan suara khas bangun tidurnya.
Jevan memutar tubuhnya. "Ada urusan yang mau aku selesaikan sama Hema dulu." jawab Jevan, kemudian berjalan mendekati sisi ranjang.
Giana menghela nafas pelan. "Aku males banget kayaknya hari ini, kasih aku pelukan dong, atau nggak morning kiss gitu." ucap Giana, menjulurkan kedua tangannya agar Jevan masuk dalam rengkuhannya.
Jevan tersenyum, yang selanjutnya merangkak keatas kasur untuk merengkuh tubuh Giana yang masih berbaring. Menahan tubuhnya menggunakan satu tangannya yang bebas agar Giana tidak tertindih. Jevan membebaskan Giana yang bermain dengan membentuk lingkaran dipunggung Jevan menggunakan jari-jari lentik Giana.
"Morning kissnya mana?" tanya Giana, mengendurkan pelukannya untuk menatap wajah Jevan.
Tanpa menunggu lama, Jevan mengecup dahi Giana, lanjut ke kedua pipi Giana, hidung dan terakhir bibir Giana, melumatnya sebentar sebelum akhirnya Jevan melepaskan tautannya untuk menatap wajah Giana.
"Kok wangi minyak telon?" bingung Giana waktu mencium aroma tubuh Jevan.
Jevan tersenyum mentereng. "Istri aku lagi nggak bisa cium aroma parfum, jadi aku ganti ke minyak telon yang sering kamu pake. Gapapa 'kan?"
Giana tersenyum gemas. "Gemes banget suami aku, jadi mau cium lagi." ucap Giana, kemudian mengecup bibir Jevan.
"Ini beneran istri aku? Istrinya Jevan Adhiaksa? Kok tumben banget manja begini." heran Jevan, lalu menarik tubuh Giana untuk bangkit dari posisi berbaringnya.
Keduanya berakhir duduk diatas kasur. Giana dengan tubuh yang malas-malasan, sedangkan Jevan yang terlihat sudah siap menjalani aktivitasnya hari ini.
"Yaudah besok-besok aku nggak usah manja lagi ke kamu."
"Enak aja!" sergah Jevan cepat. "Kalau bisa kamu begini terus aja. Aku suka." sambung Jevan.
"Yaudah sana kerja. Katanya ada urusan sama Hema."
"Kamu ngusir aku?"
"Nggak!" bela Giana cepat, tidak ingin suaminya salah paham. "Maksud aku, tadi kamu bilang kamu ada urusan yang mau dikerjakan sama Hema, yaudah sana." jelas Giana.
Jevan menghela nafas pelan, tubuhnya langsung dibaringkan diantara kaki Giana dengan menjadikan paha Giana sebagai bantalan kepalanya.
"Kok jadi ikut malas-malasan, sih?" protes Giana, menunduk menatap Jevan yang hanya fokus ke perutnya.
Jevan menunjuk perut Giana. "Ini nanti makin gede ya, sayang? Kira-kira berat nggak nanti?" tanya Jevan ambigu.
"Berat apanya?"
"Kamu bawa perutnya, keberatan nggak?" ulang Jevan memperjelas.
Giana tertawa, kemudian menepuk pelan pipi Jevan. "Ada-ada kamu mah, udah sana kerja."

KAMU SEDANG MEMBACA
MARRIED
Fanfiction[COMPLETED] Tinggal di Indonesia dimana orang-orang menganut sekte perempuan tidak boleh lama-lama menunda pernikahan, membuat Giana harus dengan senang hati menerima perjodohan dari orangtuanya dengan Jevan, cowok yang notabenenya sudah memiliki ke...