17. selesai dengan yang satu

4.2K 385 37
                                    

Untuk menyingkirkan sakit, terlebih dahulu kita harus mengangkat duri yang menancap.

.

.

.

Giana tidak mengerti kenapa bisa berakhir di tempat ini, padahal sebelumnya Giana dan Hanny, juga Karin berkeinginan untuk sekedar cari tempat makan lalu berbincang mengenai topik apapun yang kiranya perlu dibahas. Tapi, agaknya memang niat awal mereka harus melenceng, saat tiba-tiba Karin memutar arah laju mobil ke salah satu bar.

"Gue nggak minum ya, lo berdua aja." ucap Giana, tidak berselera menikmati minuman beralkohol yang saat ini tersaji dihadapannya.

Hanny dan Karin menatap tak percaya pada Giana. Tumben sekali, padahal setahu mereka Giana ini yang paling suka minum, terlebih jika sedang dihadapkan dengan berbagai macam masalah.

"Tumben, kenapa?" tanya Hanny bingung.

"Gue males ribut sama Jevan, dia nggak kasih izin gue buat clubbing. Juga gue nggak lagi selera buat minum."

"Seriusan?" kali ini Karin yang menatap tak percaya. "Jevan udah kasih larangan kayak begitu, tapi masih belum berani ngambil keputusan tentang hubungannya sama Milly. Aneh banget tuh cowok." sambung Karin menyindir.

Giana tidak menjawab dan memilih untuk meminum jus jeruk pesanannya.

Hanny menggedikkan bahunya acuh. "Yaudah kalau gitu, ayo kita ke dance floor aja." ajak Hanny, tiba-tiba menarik tangan Giana dan Karin.

Giana menolak. "Lo berdua aja, gue disini. Jagain kalian." balasnya, menarik tangannya dari genggaman tangan Hanny.

Hanny cemberut. "Kok gitu, ayo dong temani gue senang-senang."

"Gue lagi nggak minat." tolak Giana kembali, masih berusaha pada pendiriannya. "Hati-hati lo berdua, gue awasi dari sini. Jangan macam-macam atau gue aduin sama Nakula." sambung Giana, mengancam Hanny.

Karin menghela nafas pelan. "Jadi nggak ini? Atau gue sendiri aja kesana?" sergahnya, dari tadi menunggu pergerakan Hanny.

Hanny menghela nafas pelan. "Nggak jadi deh, ketahuan Nakula gue bisa diamuk. Gue ke bar aja langsung dikasih silent treatment apalagi sampai ketahuan joget-joget nggak jelas." jelasnya, membawa tubuhnya kembali duduk.

Giana terkekeh, tau sekali tipe pacar Hanny yang kelewat posesif. Apapun yang menurut Nakula tidak baik, maka dengan tegas cowok itu akan melarang Hanny untuk bersinggungan. Seperti saat ini contohnya.

"Lemah." cibir Karin. "Tapi gue juga males sih." lanjut Karin, ikut duduk disamping Giana.

Ketiganya berakhir berdiam diri mengamati orang-orang yang berlalu lalang dihadapan mereka. Sesekali Karin dan Hanny menenggak minuman beralkohol sembari kepalanya bergerak mengikuti ritme musik. Tapi, berbeda dengan Giana yang saat ini mulai sibuk berkutat dengan ponselnya. Bertukar pesan dengan Tio untuk menentukan pertemuan besok hari.

Karin menoleh pada Giana. "Lanjutin pembahasan sebelumnya, jadi keputusan lo gimana tentang hubungan Milly dan Jevan yang ketahuan mas Tio?" tanya Karin, memulai obrolan baru.

Giana menoleh kepada Karin. "Gue mau ketemu mas Tio besok, beneran belakang ini pikiran gue mumet banget gara-gara ini aja." jawab Giana masih bisa bersikap santai disaat pikirannya kacau berantakan.

"Tapi, Gi. Gue penasaran deh, intensitas Jevan ketemu Milly masih sesering dulu sebelum lo menikah nggak sih?" kali ini pertanyaan dilontarkan oleh Hanny.

Giana melirik Hanny sekilas. "Nggak tau, dia kalau keluar nggak pernah bilang mau ketemu siapa. Palingan cuman izin keluar sebentar."

Hanny dan Karin berbarengan menghela nafas pelan. Ikut merasakan kebingungan dari hubungan Giana dan Jevan yang tidak tau arah sebenarnya mau kemana. Baik Giana terlihat santai saja dengan hubungan Jevan dan Milly yang masih terjalin, bahkan setelah Giana dan Jevan sudah resmi menjadi sepasang suami-istri.

MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang