21. please be nice

4.2K 409 35
                                    

Benar, pergi lah sejenak. Jika dia mencari artinya perasaan mu tidak sendirian. Begitu pun sebaliknya, jika dia acuh. Tandanya sudah jelas, sudahi menyiksa diri sendiri dengan ekspektasi mu.

.

.

.

Jevan tidak lagi mengerti pada apa yang Giana rencanakan, kepergian Giana sudah memasuki hari ke empat, baik Jevan maupun Hema sudah berusaha mencari Giana, namun tak kunjung mereka temukan keberadaan Giana. Entah kemana perginya Giana, Jevan tidak mendapatkan sedikit gambaran untuk menemukan keberadaannya.

Jevan menyandarkan punggungnya ke kepala kursi, memijit pangkal hidungnya dengan kelopak mata yang terpejam. Bayangan wajah Giana tak henti-hentinya berputar dalam memori ingatannya, membuat penyesalan terus menumpuk dalam diri Jevan.

Tidak dengan seperti ini kalau Giana ingin menghukum Jevan, seharusnya katakan saja semua yang membuat istrinya itu muak, Jevan akan senantiasa memperbaiki kesalahannya. Meminta maaf, yang kemudian mereka bisa memulai lembaran baru lagi, sebab malam itu pun, Jevan sudah mengambil keputusan yang benar untuk mempertahankan Giana dan menjadikan Giana satu-satunya wanita yang menemani hidupnya. Tapi nyatanya, jalan yang diambil Giana sangat berbeda, berhasil membuat Jevan pusing bukan main saat ini.

Jevan menghela nafas pelan, lalu membuka matanya untuk menatap lurus pada gedung-gedung yang menjulang tinggi. Namun beberapa menit berlalu, atensinya langsung teralihkan saat mendengar ponselnya berdenting.

Pesan masuk dari Yudha, mengajak Jevan untuk menemuinya di restoran milik Tio di jam makan siang ini. "Perasaan gue nggak enak." monolog Jevan, lalu membalas pesan Yudha bahwa dirinya akan datang.

.

.

.

Hema menahan tangan Milly yang ingin membuka pintu ruangan Jevan. "Lo sama Jevan udah selesai! Jangan ganggu dia lagi, Mil." tegas Hema, menatap lurus pada manik bening Milly.

Milly membalas tatapan Hema. "Lepasin kak! Gue butuh ngomong sama dia."

"Nggak!"

"Kak—"

Hema menarik tangan Milly, membuat Milly tersentak hingga keduanya saling berhadapan dengan jarak yang sangat tipis. "Jevan dan Giana udah saling tau tentang perasaan mereka masing-masing, dan nggak seharusnya lo merusak."

"Berapa kali gue bilang, gue kenal sama Jevan lebih dulu, gue duluan yang pacaran sama Jevan."

"Kalau lo nggak lupa, lo bisa sampai ditahap itu, semua karena gue!"

"Terserah lo mau ngomong apa, lepasin gue sekarang!" sergah Milly, tak kalah tajam menatap obsidian Hema. "Gue mau ngomong sama Jevan." sambung Milly.

"Nggak!" tegas Hema.

"Brengsek!" maki Milly saat Hema menarik tangan Milly untuk menjauh dari ruangan Jevan.

Milly berusaha melepaskan genggaman tangan Hema, memukulnya dengan brutal sembari mengucapkan sumpah serapah kepada Hema. Bahkan keduanya sudah tidak menghiraukan pandangan beberapa karyawan yang menatap mereka dengan kerutan bingung.

Hingga akhirnya mereka sampai di basemen, Hema melepaskan genggaman tangannya lalu berputar untuk menatap Milly. "Bisa nggak sekali aja lo nggak bertindak sesuka hati lo?" serbu Hema. "Bisa nggak sekali aja lo lihat perasaan orang-orang disekitar lo dan berhenti nyakitin mereka semua? Bisa nggak lo jadi manusia yang memanusiakan manusia? Ini bukan Milly yang gue kenal dulu. Lo udah terlalu banyak berubah." sambung Hema bertanya dengan bertubi-tubi.

MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang