6. h-1

3.7K 430 15
                                    

Adakalanya apa yang diinginkan biarkan hanya sebatas keinginan, karena nyatanya, saat itu terwujud justru tidak sungguh-sungguh memberikan kebahagiaan.

.

.

.

Sehari menjelang pernikahan, Giana dan Jevan sedang sibuk memindahkan barang-barang milik Giana ke kamar Jevan. Menyusunnya untuk masuk ke dalam lemari yang sama milik Jevan. Tidak banyak, hanya pakaian milik Giana dan barang-barang seperlunya. Sisanya masih Giana simpan di rumahnya agar enam bulan ke depan Giana tidak perlu repot-repot lagi memindahkan barangnya untuk kembali ke rumah.

"Sore gue cabut, mau jemput Milly di bandara." ucap Jevan, memecahkan keheningan diantara mereka.

Giana yang lagi melipat baju langsung menoleh pada Jevan. "Cabut tinggal cabut." jawab Giana santai.

Mendapatkan jawaban sinis dari Giana, Jevan lebih memilih acuh. "Kemungkinan besar besok dia bakalan datang ke pernikahan kita. Terus nginap disini karena besoknya gue sama dia mau pergi ke Bandung.

"Nggak!" dengan cepat Giana menolak tegas rencana Jevan. "Gue nggak mau dia datang ke acara gue dan nginap disini." sambung Giana menatap tak suka pada ide Jevan.

Jevan merenggut sebal. Kenapa jadi Giana yang mengaturnya? Ini apartemen Jevan, dan Jevan berhak memutuskan siapa yang boleh tinggal di apartemen miliknya. Lagian untuk acara pernikahan, itu bukan hanya acara Giana tapi acara Jevan juga.

"Kok jadi lo yang ngatur?" tanya Jevan sinis.

Giana mendengus. "Gue punya hak untuk menolak siapa yang datang ke acara gue—"

"Itu acara gue juga!" potong Jevan cepat. "Dan gue punya hak yang sama untuk mengundang siapa yang harus gue undang. Kalau lo nggak lupa, Milly disini pacar gue dan gue mempunyai hak penuh untuk memutuskan siapa yang boleh tinggal di apartemen gue. Final, Milly datang ke acara gue dan nginap disini."

Giana berdiri, kemudian berkacak pinggang dengan angkuh. "Gue tegasin ke lo lagi, kalau gue nggak mau Milly datang apalagi nginap disini. Selagi ada gue, jangan pernah tuh anak memunculkan batang hidungnya. Silakan bersikeras sama keputusan lo dan lo liat hasilnya apa yang bisa gue perbuat. Gue serius Jevan!" jelas Giana, menekankan kalimat terakhirnya. Kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk meredam emosinya yang sudah dipuncak kepala.

Jevan menatap pintu kamar mandi dengan perasaan marah. Giana benar-benar bertindak sebagai calon istri yang baik sekarang, membuat Jevan muak akan semua tingkah laku Giana. "GUE TETAP PADA KEPUTUSAN GUE!" teriak Jevan.

"OIYA SILAKAN AJA." jawab Giana tak kalah keras berteriak.

_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_

Jevan merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Milly yang sedang berlari menghampirinya. Senyum tercetak hingga membuat kedua mata Jevan membentuk bulan sabit.

"Welcome back." ucap Jevan, memeluk Milly sembari mengangkat tubuh mungil sang kekasih.

Milly terkekeh. "Kangen banget." ucapnya, lalu memberikan kecupan di pipi Jevan. "Gimana hari kamu seminggu ini?" sambung Milly, saat Jevan sudah membawa tubuh mungilnya untuk menapak kembali.

"Nggak ada yang berubah, mungkin seminggu terakhir ini lebih banyak sibuknya. Makanya aku kemarin ngabarin kamu juga lama."

Milly mengerti, tidak jauh berbeda dengan Jevan. Milly juga belakangan ini disibukkan dengan pekerjaannya, syuting yang banyak menguras waktu karena peran Milly sangat krusial dalam film yang sedang dalam proses penggarapan.

MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang