29. berdamai

4.3K 354 25
                                    

Gue butuh orang baik kayak lo untuk meyakini gue bahwa dunia memang nggak sejahat itu”

— Hanny —

.

.

.

Giana awalnya ingin menolak ajakan Panji untuk berbicara, tapi mendengar bahwa ada hal mendesak yang ingin disampaikan, mau tidak mau Giana akhirnya menyetujui ajakan tersebut, hingga akhirnya mereka duduk saling berhadapan di salah satu restoran di kota Jakarta.

"To the point aja ya, Nji. Gue setelah ini mau ketemu Hanny." ucap Giana menatap lurus ke Panji.

Panji menarik segaris senyum. "Maksud gue ngajak lo ngobrol supaya semuanya clear, dan kita semua bisa hidup dengan damai. Nggak ada lagi beban yang mengganjal di hati masing-masing."

"Oke, terus?"

"Ini tentang Milly." sergah Panji cepat, membuat Giana menghela nafas pelan.

"Milly ada gangguan post traumatic stress disorder atau gangguan stress pascatrauma. Intinya kondisi kesehatan jiwa yang dipicu oleh peristiwa traumatis." ucap Panji, menimpali penuturan sebelumnya.

"Hubungannya sama gue apa?" tanya Giana masih terlihat bingung dengan pembahasan tiba-tiba ini.

"Gue ceritain pelan-pelan ya. Milly punya masa lalu yang kelam, Gi. Dia trauma karena perlakuan keluarganya ke dia. Seseorang yang selalu merasa kesepian membutuhkan cinta, Milly cuman mau merasakan gimana rasanya dicintai dengan tulus, yang kebetulan Milly mendapatkan itu dari Jevan. Sejak awal gue tau Milly nggak pernah beneran cinta sama gue, pun gue juga begitu. Kita sama-sama takut kesepian, jadi opsi yang kita ambil bertahan di hubungan yang rasanya udah berbeda dari awal pertama kali. Nyakitin memang, tapi pilihan itu terkesan yang paling tepat disaat masing-masing nggak menemukan cara menyingkirkan kesepian yang ada. Gue juga tau alasan dibalik semua perbuatan dia, gue nggak bisa membenarkan itu. Cuman, dia masih dalam tahap berdamai dengan dirinya sendiri."

Giana memilih diam mendengarkan semua yang ingin Panji katakan. Tangannya yang berada dibawah meja saling bertaut untuk menetralisir perasaan aneh yang tiba-tiba memenuhi hati Giana.

"Dulu memang gue salah karena udah selingkuh dari lo. Tapi, Gi. Ada alasan lain kenapa gue memilih Milly. Sebagai manusia, kita pasti mendapatkan pelajaran dan kasih sayang pertama kali dari orangtua. Kita semua tau itu! Tapi, beda sama Milly. Dia nggak pernah dapat itu semua, bahkan dari orang-orang yang dia anggap keluarganya sendiri. Milly cuman menerima cacian, kutukan dan kata-kata jahat yang bikin Milly merasa nggak layak untuk tetap hidup. Dan karena hal itu, beberapa kali gue temui dia dalam keadaan kacau, yang bahkan hampir sekarat."

"Panji, Milly beneran sesakit itu?" tanya Giana hati-hati, menyela pembicaraan Panji.

Panji mengangguk. "Gue bilang ini cuman pengen lo tau, Milly nggak jahat. Dia cuman mempertahankan bahagia yang menurut dia benar, walaupun kita semua tau itu sebenernya salah, malah yang ada nyakitin dia."

"Orangtuanya gimana sekarang?" tanya Giana lagi.

"Milly yatim piatu, nyokapnya meninggal waktu lahirin dia. Itu lah alasan dibalik dia dibenci keluarganya sendiri, bahkan bokapnya. Semua nyalahin dia karena udah lahir."

Giana menghela nafas berat. Dialihkannya pandangan Giana ke luar jendela, membuat Panji menarik segaris senyum sembari menatap cangkir berisi kopi.

"Memang menyedihkan, tapi lo harus tau, dia cewek kuat. Gue mau selalu ada terus disisi dia, tapi bukan lagi sebagai pasangan dia."

MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang