Do whatever you want, but don't hurt people.
.
.
.
Begitu sampai Jakarta, hal yang pertama kali Giana cek adalah ponsel miliknya yang sengaja Giana tinggal. Melihat pesan-pesan yang belum terbaca sampai detik ini, yang begitu Giana lihat satu persatu, dari banyaknya pesan yang ada. Tidak ada nama yang sejak awal Giana harapkan, pesan dari Lala ataupun Yudha tidak ada diantara banyaknya pesan yang Giana terima.
"Mama sama papa kok nggak nanyain kabar gue ya." monolog Giana, yang sama sekali tidak melihat adanya pesan masuk dari orangtuanya, entah menanyakan kabarnya yang sudah hampir dua minggu tidak berkunjung, atau basa-basi seperti biasanya.
Jevan yang melihat Giana terlihat kebingungan akhirnya menghampiri Giana. "Kenapa?" tanya Jevan, melirik sekilas ponsel Giana.
Giana menoleh. "Mama sama papa tumben nggak hubungi aku, biasanya bawel banget kalau aku nggak main ke rumah." adu Giana.
Kembali Jevan mengingat pembicaraannya bersama Yudha, kemudian menarik Giana untuk duduk disisi kasur. "Sini deh duduk, aku mau ngomong sesuatu." ucap Jevan, menaruh penuh atensinya ke Giana yang sekarang makin kelihatan bingung.
"Beberapa hari sebelum aku nyusul kamu ke Bali, aku sama papa ngobrol."
"Papa siapa?" sergah Giana cepat, tidak ingin nantinya salah menyimak cerita.
"Papa Yudha." jawab Jevan. "Kita ketemuan di restoran mas Tio. Na, papa udah tau tentang hubungan aku dulu sama Milly, tapi kamu tenang aja, aku udah ceritain semua kebenarannya termasuk aku yang udah putus sama Milly. Aku juga udah minta maaf dan minta kesempatan kedua untuk aku memperbaiki kesalahan yang aku perbuat, aku juga udah bilang kalau aku mau jadiin kamu satu-satunya, aku nggak akan mengulangi kesalahan yang sama atau kesalahan apapun yang beresiko sama hubungan pernikahan kita kedepannya. Aku udah jelasin semua yang terjadi tanpa ada yang dikurangi, aku udah janji untuk membahagiakan kamu dan menjadi imam yang baik kedepannya sama papa, aku udah benar-benar berubah." jelas Jevan panjang lebar.
Giana hanya tersenyum. "Berarti masalahnya udah selesai 'kan?"
Jevan menghela nafas pelan. "Aku takut papa sama mama masih marah. Aku udah nyakitin kamu, orangtua mana yang nggak marah anaknya disakiti?" balas Jevan.
"Besok kita jelasin lagi aja kalau masalah kita udah clear, sekalian kasih tau mama sama papa perihal kehamilan aku." saran Giana yang disambung antusias oleh Jevan.
"Boleh, besok selesai pulang kantor aku."
"Ketemuan disana aja, aku mau ngurus barang-barang aku di kantor."
"Loh! Kamu resign ya?" tanya Jevan.
Giana mengangguk. "Tiga hari di Bali aku udah ngurus surat resign, secara resmi aku ninggalin perusahaan besok, sekalian sambut kenaikan jabatan Narra dan rapiin barang."
"Narra gantikan posisi kamu?"
"Yappss! Anaknya pinter, walaupun lulusan SMA tapi cepat tangkap, dan aku percaya minta dia untuk gantikan posisi aku."
"Beruntungnya dia punya orang kayak kamu."
"Aku juga beruntung bisa kenal dia. Tau nggak? Selama aku di Bali, semua pekerjaan aku dia yang urus, Van. Hebat, nggak ada kesalahan, semuanya dikerjakan dengan keseriusan." puji Giana, membuat Jevan tersenyum mendengarnya.
"Bagus kalau begitu, ilmu yang kamu kasih nggak sia-sia gitu aja."
Giana tak menjawab, lebih memilih kembali mengotak-atik ponselnya, membuka room chat dirinya dengan Jevan. Seketika tawa langsung mengudara saat Giana membaca pesan yang Jevan kirim.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARRIED
Fiksi Penggemar[COMPLETED] Tinggal di Indonesia dimana orang-orang menganut sekte perempuan tidak boleh lama-lama menunda pernikahan, membuat Giana harus dengan senang hati menerima perjodohan dari orangtuanya dengan Jevan, cowok yang notabenenya sudah memiliki ke...