22. finally

4.7K 409 27
                                    

Semua orang memang punya porsi lukanya masing-masing, tapi tidak semua orang bisa belajar dari bagaimana luka itu ada.

.

.

.

Ada yang sangat ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai disaat tak pernah terasa rasa dari cinta itu, bahkan dari orang-orang yang katanya pemilik cinta paling banyak di dunia ini. Kalau pun seluruh dunia mencintainya hanya karena apa yang telah ditampilkan, itu bukan lah kebenarannya. Karena nyatanya, cinta itu tak pernah tersampaikan, jauh dari lubuk hatinya, masih ada ruang kosong yang terus mengemis cinta dari orang terkasih.

Dalam ruangan temaram, Milly duduk diatas kasur empuknya sembari memeluk kakinya, bersandar kepala diatas lutut dengan tangisan dalam diam. Tak lagi dihiraukan Hema yang masih setia menemaninya untuk menjaga Milly dari kemungkinan buruk yang akan terjadi.

"Mil, . ." panggil Hema, duduk berhadapan dengan Milly dan ikut memeluk kakinya.

Milly mendongak, membalas manik bening Hema yang terlihat lelah. "Kak, gimana rasanya dipeluk sama sosok ibu disaat kita merasa dunia terlalu kejam sama kita?" tanya Milly, berusaha menarik segaris senyum agar tetap terlihat baik-baik aja. "Andai dulu gue nggak lahir, mungkin mama masih disini bareng papa, pun gue nggak akan dibenci sama papa karena udah lahir sampai bikin mama meninggal." sambungnya, kemudian menghapus jejak air matanya dengan kasar.

Hema menghela nafas pelan. Saat seperti ini lah yang Hema benci, dimana orang-orang tidak pernah tau tentang apa yang Milly rasakan. Dicampakkan keluarga sendiri, tidak pernah melihat wajah dan merasakan pelukan dari sosok ibu. Milly yang dikenal ceria di layar sesungguhnya hanya topeng untuk menutupi lukanya.

"Gue pikir, kemarin gue adalah cewe paling beruntung karena berhasil dicintai oleh dua orang sekaligus." Milly terkekeh renyah dengan pemikiran konyolnya. "Gue sampai lupa diri, kalau sebenarnya nggak pernah ada orang yang benar-benar mencintai gue. Even Panji, Jevan, papa, lo, bahkan fans gue sekalipun. Mereka cuman mencintai pikirannya sendiri tentang gue. Milly yang katanya pemilik senyum paling manis, Milly yang ceria, Milly yang lembut dan Milly yang jago akting. Iya, jago akting sampai bikin gue kesusahan untuk teriak ke semua orang kalau gue capek. Capek banget." jelas Milly, tidak ingin memutus kontak matanya dengan Hema, biarkan Hema tau bahwa Milly sungguh-sungguh dengan perkataannya, Milly sangat lelah.

Hema lagi-lagi tidak menjawab, lebih memilih membiarkan Milly mengeluarkan segala bentuk rasa sesak yang menghantamnya.

Milly terisak. "Kalau semuanya pergi, gue sama siapa sekarang? Gue takut kejadiannya kayak waktu papa dulu, dipanggil ke rumah cuman untuk lihat tubuh kaku yang dari dulu pengen gue peluk, tapi bukan untuk yang terakhir kalinya. Mereka nggak akan begitu 'kan, kak?" tanya Milly, membuat Hema menggelengkan kepalanya dengan gerakan lemah.

"Kak, sumpah! Gapapa gue nggak ngerasain dicintai sama mereka lagi, gapapa mereka pergi, gapapa gue diusir dari hidup mereka kayak papa usir gue dulu. Tapi bisa nggak mereka janji untuk tetap hidup? Janji jangan minta gue datang lagi untuk ketemu sama mereka dalam keadaan mati. Gue, . . Takut."

"Mereka bukan bokap lo, Mil."

Milly tertawa sumbang. "Iya benar! Jevan sekarang suaminya kak Giana. Panji mantan gue, dan mereka nggak punya alasan untuk minta gue balik. Jevan udah punya kak Giana, terus Panji—— ahh, . . Dia pasti bakalan ketemu sama cewek yang bisa menghargai perasaan dia." koreksi Milly.

Hema masih terdiam ditempatnya.

Milly menghapus kembali jejak air matanya. "Oke! Stop merasa paling tersiksa." ucap Milly, lalu menepi dan mengambil posisi berdiri untuk menghadap ke Hema yang masih setia duduk diatas kasur. "Gue cuman perlu akting bahagia, dan semuanya akan baik-baik aja. Iyakan?" sambung Milly dengan senyuman yang justru terlihat menyakitkan dimata Hema.

MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang