1. puncak komedi

9.1K 529 14
                                    

Sejujurnya menjadi perempuan itu serba salah, saat kecil dituntut untuk bisa menjadi gadis kuat, begitu beranjak semakin besar perempuan dituntut untuk menjadi mandiri. Lalu ketika sudah berhasil mendiri, orang-orang sering kali menuntut banyak hal. Seperti ; jadi perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi, kerjaan juga jangan semua serba bisa. Nanti, cowok takut untuk dekatinya.

Giana Adeline menghela nafas berat saat lagi-lagi sang mama melontarkan pertanyaan yang sering kali memekakkan telinga Giana. Selera makannya mendadak hilang saat harus mendiskusikan obrolan yang Giana sudah tegaskan dari jauh-jauh hari.

"Mama ini! Aku udah bilang, umur aku masih dua puluh enam. Masih muda! Nanti juga aku nikah kalau udah ketemu orang yang tepat." jawab Giana ketus. Rasanya ingin berteriak, tapi Giana masih memiliki etika dan sopan santun yang sudah diajarkan oleh orangtuanya. Tindakan yang terpikirkan Giana adalah salah.

Mama terlihat resah. "Bukan gitu, sayang. Mama tanya begini karena kamu lihat, umur mama semakin tua. Mama cuman mau lihat kamu nikah sebelum mama nggak ada."

"Ma, jangan ngomong begitu!" kesal Giana, menatap tak suka kearah mama. "Kalau aku udah ketemu jodohnya pasti dimudahkan kok sama Allah." sambung Giana, perlahan suaranya menjadi lembut.

Mama menghela nafas pelan. "Mama cuman mau cucu dari kamu, mas Tio udah. Cuman tinggal kamu, itu aja! Sebelum mama nggak ada."

Giana meletakkan sendok dalam genggamannya. "Yaudah lah, kalau mama mau banget aku nikah, mama aja cariin jodoh buat aku. Toh, aku yakin mama juga nggak akan salah pilih." ucap Giana tanpa pikir panjang, sebab Giana sudah malas untuk berdebat. "Aku tinggal kerja dulu. Assalamualaikum." sambungnya mengakhiri obrolan keluarga disela-sela sarapan.

"Waalaikumsalam." jawab mama dan papa berbarengan.

Papa yang sedari tadi hanya menyimak, menatap kepergian Giana dengan senyum mentereng. Akhirnya, kalimat itu terucap juga dari anak bungsunya, membuat papa berseru senang dibalik tatapan yang sangat mencurigakan.

"Puas kamu!" omel mama, begitu melihat sang suami tersenyum bahagia.

Papa menggenggam tangan mama. "Istri aku memang yang terbaik! Langsung aja hubungi keluarga Dion, kita adakan pertemuan keluarga di makan malam nanti." ucap papa, kemudian mengecup genggaman tangan mama.

"Kamu aja yang hubungi, aku masih harus bujuk anak mu dulu."

"Siap ratuku." jawab papa lantang, membuat mama tersenyum malu-malu mendengar panggilan sayang papa.

.

.

.

Dalam perjalanan menuju kantor, Giana ditemani oleh Yemima melalui sambungan telfon yang mereka lakukan, disana Giana terlihat mengeluarkan segala keluh kesahnya ke sepupu terdekat Giana.

"Lo bayangin aja deh, kak? Gila gue udah sebulan ini dicecar nyokap untuk nikah. Lo aja umur dua puluh tujuh baru mau nikah, lah kenapa gue yang dibawah lo disuruh cepat-cepat nikah sih."

Yemima tertawa. "Ante Lala lucu juga ya, padahal mas Tio udah nikah dan punya anak tapi kenapa masih cecar lo untuk nikah juga? Aneh banget." ucap Yemima heran.

"Tau nih! Katanya takut dia udah nggak ada kalau gue lama-lama nikah. Sebel banget, dia tau aja kelemahan gue."

"Yaudah lah gi, mungkin maksud ante Lala baik. Dia mau lihat lo ngerasain punya keluarga sesungguhnya. Coba deh mulai sekarang buka hati, jangan kebanyakan kerja mulu. Memangnya lo nggak iri apa lihat gue ciuman sama Mario terus?"

"Gila lo kak! Otak lo nggak pernah beres emang, kebanyakan pacaran mulu sih lo sama bang Mario."

Giana melajukan mobilnya untuk masuk ke gedung yang menjulang tinggi. Dimana gedung itu menjadi tempatnya bekerja selama tiga tahun ini.

MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang