Pada dasarnya hati manusia itu gampang berubah-ubah. Tidak selalu konsisten, terlebih adanya faktor yang mempengaruhi.
⚠️🔞🔞🔞⚠️
.
.
.
Hari ini tepat pernikahan Yemima dan Mario. Seminggu sudah Giana berhasil menghasilkan maha karya indah yang saat ini terbalut ditubuh Jevan, sang suami. Matanya menelisik setiap inci tubuh Jevan sembari memikirkan apa kiranya yang kurang untuk menyempurnakan tampilan Jevan.
Giana menghela nafas pelan. Dari tadi ada satu hal yang menganggu pandangan Giana. "Lain kali jangan warnai rambut lah." protes Giana. "Lo ganteng soalnya, jantung gue nggak aman lihatnya." lanjut Giana dalam hati.
"Iseng sama Hema warnai rambut." jawab Jevan santai. Melihat penampilannya dari balik kaca, diam-diam ikut menangkap pantulan punggung Giana. "Dikasih bahan lebih malah sengaja dikurang-kurangi." sindir Jevan.
Giana bingung. "Apanya?" tanya Giana, merapikan kembali kerah kemeja Jevan.
Jevan tidak bisa bawa Giana dengan dress seperti itu, kepalanya bisa mendidih saat melihat semua mata memperhatikan punggung Giana yang seharusnya hanya ditampilkan kepada Jevan saja. "Gue nggak usah pake jas lah, pake buat lo aja!" ucap Jevan, ingin melepaskan jasnya namun langsung Giana tahan.
"Lah kenapa? Udah pakai aja, gue bikinnya sampe sakit pinggang ya itu."
Jevan menghela nafas berat. "Punggung lo harus banget begitu? Lain kali kalau mau bikin baju sesuaikan sama bahannya aja."
Giana langsung melihat punggungnya dengan bantuan kaca. "Ini mah normal, lo lihat aja nanti dress Narra. Lebih gila dari pada gue."
"Gue nggak peduli, dia bukan istri gue." timpal Jevan, membuat Giana langsung menatapnya.
Untuk beberapa detik mereka hanya terdiam, yang kemudian Giana tersadar dan segera berjalan keluar kamar. Atmosfer yang aneh, tapi entah kenapa Giana menyukai saat Jevan menyebutkan dirinya sebagai istrinya. Bukan kah Jevan terlihat seperti suami posesif yang tidak ingin melihat istrinya menjadi pusat perhatian banyak orang? Segaris senyum muncul dari wajah Giana, perasaannya menghangat hanya karena penuturan Jevan tadi.
.
.
.
"Giana Adeline." gumam Jevan, menatap lurus pada Giana yang saat ini sedang sibuk berbincang dengan para sahabatnya.
Jevan menarik segaris senyum, tatapannya masih fokus pada Giana. Dengan balutan dress yang melihatkan punggung mulus Giana, bahu yang bahkan tidak tertutupi sehelai benang pun. Rasanya Jevan ingin mengutuk Giana karena telah lancang membuat dress yang bikin semua mata tertuju padanya. Bahkan beberapa kali Jevan bisa melihat seseorang dengan balutan jas berwarna merah maron menatap istirnya dengan senyuman yang begitu memuakkan dimata Jevan.
"Kedip, bro. Bini lo nggak akan kemana-mana." goda Hema, yang kini mengambil posisi duduk disamping Jevan.
Jevan tidak peduli, tatapannya masih fokus pada cowok yang saat ini berusaha mendekati Giana. "Kenapa dia bisa datang? 'kan gue bilang untuk pastikan dia jangan datang." ucap Jevan, tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.
Hema terkekeh, rasanya lucu sekali melihat tatapan Jevan yang menyiratkan kecemburuan. "Lo pikir gue yang punya acara, tanya sono sama bang Mario kenapa undang Panji." jawab Hema. "Apa perlu gue yang tanya langsung?" sambungnya, menenggak wine yang sengaja disediakan untuk tamu spesial.

KAMU SEDANG MEMBACA
MARRIED
Fanfiction[COMPLETED] Tinggal di Indonesia dimana orang-orang menganut sekte perempuan tidak boleh lama-lama menunda pernikahan, membuat Giana harus dengan senang hati menerima perjodohan dari orangtuanya dengan Jevan, cowok yang notabenenya sudah memiliki ke...