25. rengkuhan mama

4.1K 373 40
                                    

Pelukan ibu adalah nyaman yang selalu dicari.

.

.

.

Setelah menyelesaikan pembicaraannya dengan Milly yang tidak mendapatkan jawaban apapun, Giana langsung mengunjungi rumah orangtuanya. Berjalan masuk ke dalam rumah untuk setidaknya melihat wajah yang sudah dua minggu ini Giana rindukan.

Langkahnya langsung terhenti saat melihat Lala sudah berdiri berseberangan dengan Giana. Kedua mata mereka saling bertubrukan, Giana dengan tatapan lelah, yang sangat membutuhkan rengkuhan sosok ibu, sedangkan Lala, menatap Giana dengan segaris senyum yang justru membuat Giana ingin menangis sembari memeluk tubuh yang semakin menua itu.

Pada akhirnya pertahanan Giana hancur, tangisan lolos bersamaan dengan rengekan lelah yang dirasakan. "Mama, . ." lirih Giana, berjalan mendekati Lala, kemudian memeluk tubuh Lala dengan erat. Menangis dengan keras sembari memanggil sebutan Lala berulang kali.

"Makasih karena masih berlari ke arah mama, nak. Berat banget pasti ya?" ucap Lala, mengelus punggung rapuh Giana dengan lembut.

Giana mengangguk dalam tangisannya. "Giana pikir, Giana bisa menyelesaikan ini semua sendirian. Tapi ternyata nggak bisa, Giana butuh pelukan mama. Kenapa rumah tangga Giana nggak semulus rumah tangga orang lain?" rengek Giana. Mengadu pada satu-satunya orang yang sangat memahami Giana, satu-satunya orang yang sangat mengerti perihal sakit yang Giana rasakan.

"Ke kamar yuk, mama kangen ngobrol sama adek." pinta Lala, membuat Giana langsung melepaskan rengkuhannya. "Kali ini jangan ada lagi yang ditutupi, mama mau adek jujur sama mama." sambung Lala, mengelus wajah anak bungsunya dengan penuh cinta.

Berakhirlah Giana dan Lala di kamar milik Giana dulu, tempat nyaman Giana sebelum dipinang dan dibawa oleh Jevan ke tempat baru, apartemen Jevan yang saat ini ditempati sebagai tempat ternyaman setelah rumah Giana sendiri.

Lala duduk bersandar punggung ke kepala kasur Giana, sedangkan Giana berbaring dengan menjadikan paha Lala sebagai ganjalan kepalanya.

"Nikah itu nggak mudah ya, mah. Masalahnya bisa berat, dan bisa ringan. Kadang bikin kita hampir mau nyerah." ucap Giana, membuka obrolan.

Lala mengelus kepala Giana, memperhatikan wajah Giana yang kelihatan sangat lelah, tercetak jelas dimata Giana yang sudah sembab karena terlalu banyak menangis.

"Padahal baru kemarin Giana sama Jevan merasa bahagia, kita sama-sama udah berhasil menyelesaikan masalah sebelumnya, tapi kenapa sekarang malah muncul masalah baru? Giana capek, mah."

"Maafin mama karena udah maksa adek untuk cepat-cepat berumah tangga. Mama lupa diri kalau menikah itu bukan jalan yang selalu dipenuhi bunga aja, kadang kala ada hambatan yang penyelesaiannya membutuhkan mental yang kuat."

Giana menggeleng, itu bukan sepenuhnya kesalahan Lala. Mungkin ini adalah hukum karma karena diawal pernikahannya, Giana sudah berani memainkan janji suci pernikahan. "Ini bukan salah mama, ini mungkin teguran dari Allah karena diawal pernikahan, Giana udah berani bermain sama takdir Allah. Berjanji untuk mengakhiri hubungan pernikahan setelah enam bulan pernikahan." jelas Giana, yang langsung membuat Lala menghentikan kegiatannya mengelus kepala Giana.

Giana mendongak menatap Lala. "Maafin Giana, mah. Tolong jangan marah." mohon Giana.

"Nak, mama nggak marah sama kamu. Mama marah sama sikap egois mama dulu, kalau mama mau ngertiin kamu, mungkin sekarang kamu masih menikmati hidup kamu dengan penuh kebahagiaan."

MARRIEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang