18. Antara Kau dan Dia

539 277 208
                                    

"Kita hanya dua orang yang sedang singgah karena tersesat. Hingga pada akhirnya, kita menemukan jalan pulang yang berbeda."

Selamat Membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca...

Tadi malam setelah Niko mengantarku pulang ke rumah. Ia kembali menghubungiku melalui sambungan telepon. Entah apa yang sedang terjadi pada laki-laki itu, sampai ia harus menghubungiku berulang kali untuk memastikan aku baik-baik saja setelah tak bersama dengannya.

Aku merasa ada yang aneh dengan Niko akhir-akhir ini. Meskipun ia selalu bertingkah seperti tidak ada hal mencurigakan, tapi aku dapat merasakan ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Aku cukup mengenal sifat laki-laki itu, karena dari dulu Niko terkenal dengan sifatnya yang dingin dan irit bicara. Jadi, terlalu mudah bagiku mengetahui ada yang aneh dari sikapnya belakangan ini.

Mataku melirik ponsel yang sedang berdering tak jauh dari letak tanganku bertumpu di atas meja. Lagi-lagi aku menghembuskan napas lelah saat membaca nama Keenan untuk yang ke-15 kalinya kembali menghubungiku.

"Halo, Ken."

"Sabita, lo sekarang aja dong kesininya. Badan gue panas banget ini."

"Iya gue kesana tapi nanti ya, Ken. Sekarang gue masih di kantor dan masih banyak banget kerja—"

"Sabitaaa... Gue mual banget ini nahan muntah."

"Ken, lo minta tolong Niko dulu deh buat nyamperi—"

"Nggak mau, gue maunya sama lo aja. Niko nggak sabaran kalau ngurusin gue sakit, dia demen getok kepala gue."

"Nggak salah sih Niko getok kepala lo. Lo nya aja bawel banget."

"Aelah Bita, lo suruh Salma aja yang gantiin kerjaan lo hari ini. Sekarang lo temenin gue dulu."

Aku memijat pelipis yang terasa berat. Ken memang sangat cerewet saat sedang demam seperti ini. Ia akan menyuruh aku dan Salma untuk menemaninya sepanjang hari sampai demam itu turun. Namun, hari ini hanya aku yang menjadi incaran Ken untuk menemaninya.

"Yaudah gue jalan dulu," aku mengalah padanya dan merapikan semua laporan keuangan kantor yang berserakan di atas meja. "Nanti gue beliin lo bubur."

"Jangan lama-lama, Bitaaa."

"Iyaaa, bawel banget lo kalau lagi sakit gini," ketusku.

"Ya abisnya gue punya siapa lagi selain lo doang yang peduli sama gue?"

Aku terdiam mendengar kalimat itu, teringat orang tua Ken yang masing-masing telah menikah lagi di luar kota. Bahkan, Tante Dea telah memiliki anak perempuan yang berumur 2 tahun.

"Iya, lo tiduran aja jangan main hp lagi. Gue mau kasih beberapa laporan keuangan biar diurusin sama Salma dulu. Oke, bye."

Belum sempat Ken menjawab, aku telah memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Langkahku terburu-buru menuju ruangan Salma untuk memberikan beberapa berkas laporan dan memberitahukan beberapa rencana kerjasama untuk 3 bulan ke depan.

Rumah Kedua [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang