28. Terima Kasih, Salma

463 203 162
                                    

"Sal, nggak ada satupun alasan gue untuk benci sama lo. Setelah pilihan itu keluar dari bibir lo, gue cuma bisa berharap agar Tuhan mengembalikan lo ke gue, secepatnya."

Selamat Membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca...

Aku dan Niko telah sampai di Jakarta tadi malam, setelah ia usai menyelesaikan beberapa tugasnya, yaitu melihat keadaan anak-anak di panti asuhan dan menengok perpustakaan yang ditujukkan khusus untuk anak-anak jalanan. Kedua tempat itu sengaja dibangun oleh Niko, atas permintaan terakhir dari Almarhumah Tante Irma sebelum beliau meninggal dunia.

Mungkin alasan Niko bersikap dingin dan tertutup, karena ia menyimpan banyak kesedihan di dalam hatinya tanpa sepengetahuan orang lain. Niko cukup pintar dalam menyembunyikan semua hal, yang berkaitan dengan keluarganya. Ia juga memiliki sikap yang tenang dan pendiam, sampai semua orang salah mengira kalau laki-laki itu tak pernah memiliki masalah dalam hidupnya.

Bunyi termometer yang sedang mengukur suhu tubuh, berhasil membuyarkan lamunanku tentang Niko. Aku meraih termometer itu dari ketiak, untuk melihat berapa angka yang tertera pada alat pengukur suhu tubuh itu.

38°C

Suhu yang cukup tinggi untukku pagi ini, dengan berat hati aku memilih untuk meliburkan diri dari padatnya aktivitas kantor. Lagi-lagi aku kembali menghembuskan napas panjang, sembari memeras handuk kecil untuk mengompres dahiku yang terasa panas.

"Duh, mau pipis tapi pusing. Nahan pipis takut ngompol," monologku dengan suara yang sangat pelan. "Gue minta tolong Lisa aja deh."

Aku meraih ponsel yang berada tak jauh dari jangkauan tanganku.

"Bita lo kenapa call gue?"

"Lo lagi di mana? Di kamar?"

"Gue lagi masak air di dapur. Ada apa?"

"Gue boleh minta tolong nggak, Lis?"

"Minta tolong apa, Bita? Lo kenapa nggak teriak aja, kenapa mesti nelpon gini?"

"Gue nggak ada tenaga buat teriak. Gue lagi demam tinggi nih, mau pipis tapi kepala gue pusing banget. Lo bisa ke kamar gue sebentar nggak?"

"Astaga, yaudah gue ke kamar lo sekarang, ya."

"Makasih banyak ya, Lis."

"It's okay, Bita. Tunggu, ya."

Tak lama setelah aku mematikan sambungan telepon itu, Lisa langsung membuka pintu kamarku dengan wajah khawatir.

Rumah Kedua [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang