Epilog.

903 110 27
                                    

Aku meraih setangkai bunga matahari yang berada di dalam keranjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku meraih setangkai bunga matahari yang berada di dalam keranjang. Kemudian mulai memberikan gaya terbaik di depan kamera yang sedang Niko gunakan. Satu-persatu gaya telah kucoba saat Niko menyuruhku untuk berganti gaya sampai berkali-kali.

Laki-laki yang kini telah menjadi suamiku itu terlihat sedang menarik kedua sudut bibirnya, hingga menciptakan lengkungan indah yang dapat memperlihatkan kedua lesung pipinya. Ia tersenyum saat angin mulai meniupkan satu-persatu helai rambut panjang bergelombangku yang telah tertata rapi sedemikian rupa. Hembusan angin yang cukup kencang membuatku harus menahan midi dress vintage yang tengah membalut tubuhku, agar tak tersingkap yang dapat memperlihatkan bagian kaki.

Niko mulai berjalan menghampiriku yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengambil satu kotak susu rasa vanilla yang ada di dalam keranjang berwarna cokelat.

"Kamu minum dulu susunya," ujarnya sambil memberikan kotak susu itu padaku. "Gimana? Kamu udah capek belum?"

Aku langsung menggeleng sembari terus menyedot isi susunya. "Belum. Aku masih mau main disini."

Niko mengusap pelan pucuk kepalaku. "Mau main sepeda bareng?"

Mataku langsung berbinar saat Niko menawarkan untuk bermain sepeda bersama. Ia tertawa kecil melihat kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahku. Tanpa banyak bertanya lagi, Niko langsung beranjak berdiri untuk berjalan menuju sepeda berwarna putih.

Aku berlari menghampirinya sembari membawa beberapa tangkai jenis bunga yang ada di dalam keranjang.

"Ngapain bunganya dibawa-bawa gitu?" tanya Niko saat aku telah berdiri di sampingnya.

"Buat aku taruh di keranjang sepeda," jawabku dengan cengiran lebar. "Abis itu aku mau minta tolong sama kamu. Tolong fotoin atau videoin aku pas lagi naik sepeda. Boleh?"

"Dengan senang hati, Tuan Putri. Aku videoin pake kamera ponsel aja, ya?"

Aku mengangguk dan langsung menaiki sepeda itu dengan hati-hati agar bajuku tak tersangkut. Kakiku mulai mengayuh secara perlahan. Mengelilingi luasnya hamparan bukit berwarna hijau yang terlihat indah sejauh mata memandang. Meskipun sinar matahari sore menyilaukan mata, aku tetap mengayuh sepeda dengan senyum yang tak pernah pudar dari bibirku.

Setelah hari pernikahanku dua bulan yang lalu, kebahagiaan itu tak pernah hilang dari hidupku. Bahkan semakin bertambah besar setiap harinya. Perlakuan hangat yang dilakukan oleh Niko memberikanku kenyamanan luar biasa. Ia selalu memperlakukanku seperti seorang ratu setiap harinya.

Apalagi semenjak kehadiran sosok manusia didalam perutku, Niko semakin siaga setiap waktu untuk selalu menjagaku seperti anak kecil. Ia akan mengomel sepanjang hari kalau aku melanggar perjanjian untuk tidak mengerjakan pekerjaan berat selama mengandung di awal kehamilan. Setiap hari, Niko akan memastikan makanan dan minuman yang aku konsumsi dapat memenuhi nilai gizi seimbang untuk ibu hamil.

Sejak dokter menyatakan bahwa Niko akan menjadi seorang ayah, hari itu juga ia langsung membeli beberapa jenis sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, ikan, ayam, telur, dan daging tanpa lemak. Selain itu, Niko juga telah menyiapkan cemilan sehat untukku. Seperti smoothies buah dan sayuran, yoghurt, salad buah, bubur kacang hijau, snack gandum, cookies bebas gula, sampai biji bunga matahari.

Setiap Minggu sore, merupakan salah satu hari yang harus aku manfaatkan dengan baik. Niko telah menjadwalkan kegiatan untukku selama seminggu penuh, dari mulai hari Senin sampai Minggu. Pemeriksaan kandungan dilakukan pada Hari Senin dan Kamis, senam kehamilan dilakukan pada Hari Selasa dan Jum'at, sedangkan hari Rabu dan Sabtu aku harus benar-benar di rumah untuk beristirahat selama seharian penuh. Sisanya, aku akan berjalan-jalan bersama Niko di Hari Minggu.

Niko rela melakukan semuanya hanya untuk melihat diriku dan janin yang ada didalam perutku dapat tumbuh dengan sehat.

"Sayang, udahan ya main sepedanya. Sekarang kamu istirahat dulu sambil ngemil disana," kata Niko sambil menunjuk sebuah gazebo kayu di dekat kolam ikan.

"Kamu udah videoin aku yang banyak?" tanyaku antusias saat turun dari sepeda.

"Udah, sayangku. Ayo kita liat videonya bareng-bareng sambil duduk disana."

Aku mengangguk seraya membawa keranjang makanan dalam genggaman tanganku. Sedangkan Niko, menuntunku setelah membenahi sepeda yang tadi kupakai. Ia menggandeng erat tangan kananku sembari berjalan menuju gazebo kayu yang terlihat sedikit sejuk dan nyaman.

Setelah seharian penuh menikmati waktu bersama di akhir pekan, akhirnya kami dapat kembali beristirahat sembari memakan bekal yang telah dipersiapkan dari rumah. Aku menikmati roti cokelat dengan potongan pisang didalamnya. Sementara itu, Niko terlihat sangat menikmati ayam dengan bumbu pedas bertabur biji wijen dan udang asam manis. Tak ketinggalan, bahan pokok yang wajib untuk dimakan bersama lauk, yakni nasi putih.

"Niko..." panggilku pelan. "Aku mau nyobain ayamnya dong. Kamu kenapa nggak bawain buat aku juga?"

"Kamu nggak boleh makan pedes dulu. Nanti kalau bayi kita botak gimana?"

"Tapi kan kalau ibu hamil kepengen apa-apa harus diturutin. Kalau nggak, nanti bayinya ngeces. Emangnya kamu mau punya bayi ngeces-ngeces gitu?" sahutku.

Niko menghela napas sejenak mendengarkan kalimatnya yang kubalikkan. Ia menoleh menatapku beberapa detik. Kemudian tangan kanannya yang sedang memegang sendok, langsung memasukkan kembali sendok itu ke dalam tempat makan. Ia menutup rapat tempat makannya dan memasukkannya kembali ke dalam keranjang tadi.

Wajahku memelas. "Loh kok..."

Ia mengambil satu roti cokelat yang masih tersisa beberapa potong. Tanpa sepatah katapun, Niko langsung memakan roti itu dengan lahap.

"Lah, kok kamu malah makan roti?" kataku dengan wajah penuh kecewa. "Kenapa makanan kamu malah nggak dihabisin?"

"Aku nggak mau kamu makan masakan tadi. Itu rasanya pedes banget. Kasian kalau kamu makan dan janin kita juga ikut makan. Lebih baik aku ngalah nggak makan itu, daripada aku ngeliat kamu harus makan masakan tadi. Sebagai gantinya, aku makan roti punya kamu. Supaya kita bisa sama-sama makan makanan yang sama."

Aku terdiam sejenak sembari memandangi wajah tampannya yang sedang mengunyah roti. Lebih tepatnya, perasaanku meluluh karena ucapannya barusan. Meskipun hanya ucapan sederhana, bagiku kalimat itu akan selalu istimewa kalau Niko yang mengucapkannya.

"Aku beruntung bisa jadi istri kamu," ujarku tiba-tiba sembari menatapnya.

Niko pun menolehkan wajahnya untuk menatap kedua manik mataku. Tangan kanannya terulur mengusap wajahku dengan gerakan lembut.

"Makasih," jawabnya pelan. "Tapi aku lebih beruntung dan bahagia karena mendapatkan dua sosok manusia sekaligus."

Niko mengecup singkat keningku, lalu ia mendekatkan hidungnya dengan hidungku. Hingga kini, tak ada jarak yang memisahkan antara wajahku dengan wajahnya.

Satu kecupan manis berhasil mendarat di bibirku. Kemudian ia mulai berbisik di telingaku.

"Aku mencintai kamu, istriku."

Begitulah kata-kata yang keluar dari bibirnya. Sederhana namun memiliki magis yang cukup kuat, sampai aku menangis karenanya. Menangis bahagia karena Tuhan telah mengirimkan seseorang yang benar-benar tulus mencintaiku.

Demikian kisah ini berakhir pada bagian paling bahagia dari cerita hidup seorang Sabita Assakha Dineshwara yang kini telah menjadi istri dari seorang lelaki bernama Nikolas Aliandra.










Author's Note

Terima kasih banyak ya sekali lagi. Kalian sudah bersedia untuk membaca dan menemaniku sampai cerita ini selesai. Sukses terus untuk kalian dan juga untukku.

Akhir kata, aku selfi sebagai author dari Rumah Kedua mengucapkan sampai jumpa di karyaku selanjutnya! ♡

Rumah Kedua [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang