27. Sepucuk Bunga Titipan Tuhan

489 224 94
                                    

"Tentang kebaikan dan ketulusan hati seorang insan manusia yang perlahan memudar terkikis oleh ruang dan waktu."

Selamat Membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat Membaca...

Silaunya sinar matahari pagi yang masuk melalui celah jendela, berhasil membuatku membuka mata secara perlahan. Mataku mulai mengerjap, untuk memperjelas penglihatan yang sedikit buram akibat rasa kantuk. Sekilas aku melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 9 pagi. Kemudian tak sengaja melihat makanan berupa nasi goreng yang masih panas, serta segelas air putih di atas meja.

Aku meregangkan seluruh tubuh yang terasa pegal dan memijit pelan betis kaki. Ketika aku ingin melangkah untuk mengambil nasi goreng itu, tiba-tiba saja aku teringat suatu kejadian yang membuat pipiku merah bersemu saat mengingatnya.

Tubuhku mematung di tempat saat seorang laki-laki yang menjadi tokoh utama dalam kejadian itu, menunjukkan batang hidungnya dan berdiri di ambang pintu.

Sembari bersedekap dada, Niko menatapku dengan pandangan heran.

"Kenapa lo liatin gue begitu?" ucapnya dengan nada dingin. "Pipi lo kenapa tiba-tiba langsung merah merona gitu pas liat gue?"

Aku berdeham pelan untuk mencairkan suasana canggung.

"Nggak apa-apa."

"Bohong, ada apaan?"

"G–gue bukannya semalam tidur di kamar lo, ya?" tanyaku sembari menyuap nasi goreng. "Kapan lo mindahin gue ke kamar gue sendiri?"

Niko mengerutkan keningnya samar mendengar ucapanku.

"Lo ngomong apaan si? Dari semalam juga lo udah tidur di kamar lo sendiri. Sejak kapan lo tidur di kamar gue?"

"Hah? Bukannya semalam lo..."

"Semalam gue kenapa?"

"Semalam bukannya lo bawa gue tidur di kamar lo?"

"Sejak kapan gue bawa lo tidur di kamar gue? Pas lo selesai makan juga lo langsung ngibrit ke kamar, dan pas gue liat ternyata lo udah ngorok sambil meluk guling."

"Hah? Masa sih?" kataku tak percaya.

"Ngapain gue bohong? Emangnya kenapa sih? Tumben banget lo nanya begitu."

"Bukannya semalem lo nyium gue ya pas lagi bikin bubur kacang hijau di dapur?"

Aku langsung menutup mulut setelah mengatakan hal itu. Bisa-bisanya aku keceplosan dan jujur tentang kejadian semalam.

"Dih?" Niko mengedikkan alisnya. "Sejak kapan gue jadi seagresif itu? Itu lo cuma mimpi. Semalam aja lo langsung ngorok di kamar."

"Te–terus bubur kacang hijaunya mana?"

"Gue aja nggak bikin bubur kacang hijau. Kalau lo nggak percaya periksa aja di dapur sana."

Aku mengigit bibir bawah karena merasa sangat malu dan ingin menyembunyikan wajahku sekarang juga. Ternyata kejadian yang aku alami tadi malam hanya sekedar bunga tidur. Namun, mimpi itu terasa sangat nyata bagiku.

Rumah Kedua [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang