Kalau bicara soal dream wedding, semua orang punya preferensinya sendiri. Ada orang-orang yang ingin dream wedding semegah mungkin, ada juga yang ingin nuansa intim. Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar.
Pernikahan yang aku dan Dokter Talaga hadiri ini sangat megah. Literally pernikahan termegah yang pernah aku hadiri. Dekornya full bunga-bunga dengan pilihan warna yang bold seperti biru tua dan merah menyala diiringi lampu-lampu kristal di berbagai penjuru venue.
Namun yang paling menarik perhatianku adalah betapa banyaknya makanan yang dihidangkan di venue ini. Mulai dari nasi kebuli, nasi briyani, sate ayam, bakso, sampai sushi dari restoran terkenal. Dessert-nya juga beragam mulai dari cheesecake sampai gelato juga ada.
"Ini teman Dokter crazy rich apa gimana, Dok?" tanyaku terheran-heran.
"Bisa dibilang begitu, pengusaha mebel," jawabnya.
Aku menganggukkan kepalaku. Namun meskipun dekorasi dan hidangan amat menggoda, nyatanya isi kepalaku lebih terguncang karena tangan Dokter Talaga yang sedari tadi bersarang di pinggangku. Posisinya amat natural, seolah-olah pinggangku itu memang tercipta untuk jadi sandaran tangannya.
"Saya nggak sabar kenalin kamu ke teman-teman SMP saya," katanya. "Tapi kita makan dulu aja, kamu mau makan apa?"
Kami akhirnya mengawali petualangan kuliner dengan mencoba dimsum sebagai appetizer. Jumlah undangan yang datang tampaknya jauh lebih banyak ketimbang jumlah kursi. Sebagian besar hadirin makan sambil berdiri. Aku dan Dokter Talaga pun begitu.
Ketika dimsum di piringku sisa satu, ada satu bangku kosong tak jauh dari kami.
"Duduk gih di situ," kata Dokter Talaga. "Kaki kamu pasti pegal, kan?"
Aku menggelengkan kepala. "Dokter aja, Dok."
"Saya ini pacar kamu, bukan residen yang bantu membimbing kamu. Nggak perlu sungkan begitu."
Aku terdiam untuk beberapa saat. Kata-katanya itu benar, namun tetap saja, jiwa keset-ku itu tampaknya masih melekat meski kami sudah berada di luar rumah sakit.
"Kalau kamu nggak duduk, ya udah saya yang duduk. Tapi kamu saya pangku, ya? Mau, Mbak Pacar?"
Fuck.
Aku menggeleng cepat kemudian buru-buru duduk di bangku itu. Ia tergelak melihat tingkahku.
"Kamu takut banget kayaknya dipangku saya," katanya usil. "Padahal nyaman lho paha saya."
Mataku otomatis tertuju pada pahanya yang dilapisi celana biru tua itu. Memang tampak kokoh dan padat. Wajar, berjalan dan berlari-lari kesana kemari mengelilingi rumah sakit selama bertahun-tahun efeknya tak kalah dari leg day di gym.
"Saya ngomong gitu bukan berarti kamu boleh lihatin paha saya sebegitunya, Bengawan."
Damn, aku tertangkap basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 Criteria To Be My Boyfriend
ChickLitBengawan Kanigara terserang "Want-a-Boyfriend Syndrome". Cita-citanya dalam waktu dekat adalah punya pacar yang dapat menemani hari-hari suram sebagai koas alias keset rumah sakit. Nggak neko-neko, kriteria pacar yang Bengawan cari cukup sederhana: ...