“Kak, aku bawain bekal makan siang dari pada jajan di luar. Nanti dimakan, ya?”
Kayen menyodorkan sebuah kotak sewarna monokrom ke Yoska, tapi tidak ada penerimaan dari si lawan bicara, malah memang sengaja ditolak mentah- mentah. Toh, Yoska tidak pernah berharap Kayen repot- repot memasak untuknya, ia tidak pernah meminta adiknya ini menyiapkan segala keperluannya, dan anak bodoh itu justru terus-terusan melakukannya—benar-benar mengganggunya. Jadi, dia sama sekali tidak merasa bersalah sekarang.
“Gue nggak pernah suka sama kebaikan lo.” Yoska berdesis sambil menyampirkan ransel di punggungnya. “Jadi, plis, nggak usah sok baik gitu.”
Kayen tidak terkejut sama sekali sebab reaksi semacam ini sudah ia dapati setiap hari. Yoska akan selalu mengabaikannya, Yoska akan selalu mengacuhkannya— Kayen hafal betul setiap kali wajah Yoska berubah geram jika bicara padanya.
“Tapi, Kak—”
“—udah, ah. Gue nggak mau telat ngampus gara-gara kudu ngeladenin lo!”
“Tunggu dulu, Kak—”
“—apa lagi, sih?!” Yoska sigap berbalik saat Kayen berani menyentuh pergelangan tangannya, secara sengaja menghentikan langkahnya yang hampir menghentak-hentak lantai. “Mau apa lagi?! Denger, ya! Gue nggak sudi, sampe kapanpun, nggak akan sudi bawa kotak bekal itu!” Kali ini, dia menyentak pegangan Kayen cukup keras sampai bisa membuat badan yang lebih pendek darinya ini sedikit hilang keseimbangan.
“Padahal Kak Yoska belum sarapan.”
Kayen malah bermonolog pada punggung Yoska yang kian menjauh dari jarak pandangnya.
***
“Kayen!”
Tidak biasanya ada orang yang mau memanggil namanya duluan, kecuali satu—Evraz, satu lagi kakaknya.
Jadi, ketika Kayen berbalik dan menemukan si pemanggil dengan mata sabit dan senyum cerah itu berlari menuju dirinya, ia mendadak merasa girang. Karena bagaimanapun, mereka hanya bisa bertemu saat di sekolah.“Jangan lari-lari, Kak. Kan kakinya baru aja sembuh dari cedera kapan hari itu.”
Evraz malah tertawa, “Lebay, ah. Kaki gue udah bisa buat lari sepuluh kilo, nih. Mau buat turnamen dua bulan berturut-turut juga bisa.” Seperti biasa, dia suka sekali membanggakan dirinya sendiri. “Eh, biasanya nungguin gue di gerbang.”
“Kan keburu bel bunyi, aku kira Kakak udah masuk kelas duluan.”
Lantas, Evraz melirik arloji di tangannya dan kembali memandangi Kayen. “Whoa, bener-bener tega lo sekarang. Orang masih jam enam empatlima gini, kok. Telat dari mananya? Lagian, mana mungkin gue udah di kelas sepagi ini?”Akhirnya, Kayen membiarkan Evraz berjalan berdampingan dengannya dan mereka pun memasuki gedung sekolah. Di depan sana, mereka harus berpisah di persimpangan, karena kelas Evraz ada di lantai tiga, kawasan khusus siswa-siswi tahun terakhir, sedangkan Kayen yang masih kelas satu bisa melanjutkan perjalanannya sampai di ujung koridor.
“Mm, Kak. Kakak udah baikan sama Kak Yoska?”
Namun, karena pertanyaan Kayen barusan, Evraz harus menghentikan langkah sebagai jawabannya.
“Ngapain?” Kemudian, nada ketus Evraz muncul begitu saja, sekalian diiringi dengan tatapan sinisnya. “Kay, kalau lo dijahatin sama dia, mending pindah ke rumah gue, deh. Suami Mama baik, kok. Gue sering dijajanin, gue sering dikasih uang saku juga.”
Kayen hanya bisa mengulas senyum getir sebab hatinya lebih dulu porak-poranda dan ia tahu ekspresi bahagia Evraz ini terlihat tidak main-main, jadi dia menimpali dengan hal lain, “Mama nggak papa? Sehat, kan? Kak Jarel kuliahnya gimana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...