13: dijenguk harapan

319 36 0
                                    

Kayen merasa seperti di penjara sebab tidak seorangpun mengijinkannya keluar dari kamar ini. Memang semua kebutuhannya dipenuhi; termasuk soal makan dan minum, bahkan sampai ke buku-buku pelajaran dan catatan- catatan yang tertinggal—Jarel, Evraz, dan Jessica seberusaha itu membuatnya nyaman sekaligus betah di sini.

Namun, Kayen tidak bisa merasa baik-baik saja. Dia ingin pulang, dia justru khawatir meninggalkan Himar dan Yoska di rumah sana, meski lebih dari pada itu dia merasa gelisah karena ada Eden di rumah ini.

Kemudian, pintu kamar terbuka. Ada Evraz, masih dengan seragam melekat di badan, ransel tersampir di punggung, dan bola basket di pelukan, Kayen tahu Evraz baru saja pulang sekolah.

"Kay, lagi apa?" sapa Evraz saat mendapati Kayen melamun di ranjangnya, mata bulatnya nyalang memandangi jendela sedang jemarinya saling memilin. “Nanti kalau lo udah sehat beneran, pasti kita bisa berangkat sama pulang bareng ke sekolah, jadi nggak usah tunggu-tungguan di gerbang atau pulang sendiri-sendiri lagi."

Kayen menolak bicara, dia hanya akan tersenyum tipis atau pura-pura tidak menyimak. Toh, itu sudah lebih dari cukup untuk mengungkap kekecewaannya.

"Gue bawa seseorang yang ngebet banget pengen jengukin lo."

Baru karena kalimat barusan, Kayen mau bersitatap dengan Evraz, “Siapa, Kak?"

"Temen sekelas lo, yang buku sama catetannya sering gue bawa pulang."

Sepasang mata sayu Kayen jadi melebar sempurna, "Nayva?"

Evraz mengangguk sekilas, lalu menengok ke balik punggungnya, sehingga Kayen spontan mengikuti dan menemukan sosok Nayva, yang berjalan perlahan ke arahnya.

"Hai, Kay. Lo udah hampir dua minggu nggak jaga perpus, tahu. Dicariin Kak Kalaka."

Kayen membalas senyum Nayva sebelum menyahut, "Ngapain Nayva jengukin aku? Aku nggak papa, bentar lagi juga masuk sekolah."

"Yah, dari pada nggak ada yang jengukin, mending gue aja yang jengukin. Nggak boleh?"

Evraz perlu beringsut mundur, jadi dia melambai pada Kayen sebelum meninggalkannya berdua dengan Nayva.

"Devon udah pernah bilang ke aku buat jangan deket-deket Nayva."

Nayva memicing, "Oh, ya? Kapan? Halah, itu anak pasti becanda doang. Udah hafal gue. Tenang, dia nggak serius, kok.”

Namun, Kayen justru berpikir sebaliknya.

“Nih. Gue bawain catetan lagi sama upah jaga perpus dua minggu lalu yang belom sempet lo ambil."

Kayen mengerjap saat Nayva menyodorkan sebuah amplop berisi uang limapuluh ribu dan setumpuk kertas-kertas padanya.

"Kenapa Nayva tiba-tiba gini? Ah, maksud aku—"

"—maksud lo, kenapa gue tiba-tiba peduli sama lo gitu?"

Kayen jadi kikuk, "Mm, iya. Aku padahal nggak nolongin apa-apa ke Nayva, jadi Nayva nggak punya utang budi sama aku. Tapi, kenapa?"

"Masa berbuat baik harus ada alesannya, sih?" Nayva tersenyum lagi, kali ini sambil duduk di tepian ranjang Kayen—mereka tiba-tiba tak punya jarak. “Kalau Kak Evraz nggak sekolah di sekolah kita, gue nggak tahu gimana caranya jengukin lo. Nomer lo aja nggak punya. Lagian, kenapa lo nggak ikut grup kelas, sih?"

Kayen panik sebab dia tak pernah berinteraksi dengan perempuan lebih dari satu menit. Namun, hari ini, itu terjadi padanya, sehingga dia perlu membasahi bibir sejenak karena gugup mulai menguasai. Kemudian, dia bergumam, "Kayaknya, ada yang nge-kick aku."

"Hah?" Nayva mendelik. "Devon? Wah, bener-bener, tuh, anak. Tenang aja, Kay. Gue kan udah temenan sama Devon dari jaman bahula, ntar gue getok palanya kalau dia macem-macem sama lo lagi, ya."

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang