10: sebuah diagnosa awal

355 39 2
                                    

Himar pulang dalam keadaan mabuk; jalannya terhuyung, kepalanya pening, dan pandangannya berkunang. Tapi, begitu dia membuka pintu rumah, dia justru menemukan Kayen terkapar di lantai, tepat di depan kamar Yoska. Maka, dia segera mendekat ke Kayen— memastikan nadinya masih berdenyut sekaligus merasakan napasnya masih terembus, rupanya dia hanya pingsan.

"Kay,” panggil Himar sambil menepuk pipi-pipi Kayen, tentu tidak ada sambutan darinya. Alhasil, dia sigap menggedor pintu kamar anak sulungnya sambil berteriak, “Yos! Yoska! Sini!"

Yoska sendiri baru saja selesai berganti pakaian. Dia sempat berdecak saat seruan Himar menginterupsi niatnya untuk tidur. Jadi, dia terpaksa keluar kamar dan agak kaget mendapati Kayen—yang sepuluh menit lalu masih memohon di bawah kakinya, kini sudah tak sadarkan diri di lantai sana.

"Kamu apain?"

Yoska spontan memicing, "Papa kan liat sendiri, aku baru muncul dari kamar. Ya mana aku tahu?"

"Sebelumnya, kamu apain?"

Himar mendesak tegas, tapi Yoska tetap diam.

Kemudian, si sulung Mahastara itu pun berlalu ke kamar Kayen dan kembali dengan botol kecil minyak kayu putih. Tanpa berkomentar apa-apa, dia oleskan cairan tersebut ke bagian bawah hidung adiknya. Namun, nihil. Tidak ada respon sama sekali.

“Ambilin bantal, Yos.”

Yoska segera menuruti titah Himar, maka dalam sekejap dia sudah cekatan mengangkat kepala Kayen dan meletakkan benda empuk ini di bawahnya.

“Dia pingsan apa mati, sih?”

Himar spontan memelototi Yoska, “Kalau ngomong otaknya dipake nggak itu?”

“Abisnya, lama banget nggak sadar-sadar.”

Himar kembali beralih ke Kayen; yang wajahnya memucat, yang pelipisnya berkeringat, dan masih tidak ada tanda-tanda akan terbangun. Karena dilanda kepanikan, Himar terpaksa mengingat satu orang paling penting yang harus ikut andil dalam perkara ini. Ya, siapa lagi selain ibu Kayen, Jessica?

“Telpon Mama kamu, Yos.”

Yoska spontan menolak, “Dih. Ngapain? Tunggu aja. Bentar lagi juga sadar. Nggak perlu minta bantuan siapa- siapa, deh.”

“Ini bukan kayak biasanya, Yos!”

Namun, bentakan Himar seketika mengejutkan Yoska.

“Telpon sekarang. Minta tolong suruh ke sini. Karna Kayen nggak biasa gini, kita butuh mereka buat bawa dia ke RS. Emang kamu mau tanggung jawab kalau ada apa-apa sama Kayen? Hah? Lagian, mereka pasti bersedia bayar biayanya, kok.”

Alhasil, Yoska tidak diperkenankan membantah lagi hingga dia pun dengan berat hati mulai menghubungi Jessica—duluan, untuk pertama kali setelah lima tahun.

“Aku nggak mau berhubungan sama Mama lagi, tahu.”

Yoska sempat berujar demikian hingga urung menelepon ibunya sendiri.

“Ya sama. Papa juga gitu. Tapi, nggak ada pilihan lain.”

Yoska terpekur sejenak, ada banyak spekulasi di benaknya; dia tidak mau terlihat memberi harapan sehingga dikira membuka hati untuk mereka, dia tidak mau benteng pertahanan yang dibangun sekokoh ini hancur berkeping, dia tidak mau menjilat ludah sendiri untuk meminta tolong pada mereka—tapi benar, tidak ada pilihan lain.

"Anjing,” umpat Yoska. “Ya udah, aku telpon Mama."

Himar lega, setidaknya Yoska sudah mau diajak kerja sama. Jadi, dia kembali mengalihkan tatapannya pada Kayen, yang masih senantiasa bergeming, sambil memikirkan banyak hal; memang batuk Kayen tidak kunjung sembuh, ditambah dengan badannya yang mengurus dan sesaknya yang sering hadir. Benar bahwa anak bungsunya ini benar- benar pintar menyembunyikan pesakitannya.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang