"Sepi banget."
"Kan emang. Aku udah bilang kalau nggak ada orang di rumah aku, kan?" Eden membanting dirinya di sofa sembari melonggarkan dasi dan melepas kancing teratas kemejanya, baru menepuk tempat kosong di sebelahnya. "Duduk sini, Mila."
"Beneran nggak papa?"
Saat Mila mulai sangsi, Eden pun segera menarik tangan wanita berambut panjang itu agar sampai di pelukannya.
"Kamu nggak percaya sama aku?" Eden tanpa segan mengecupi bibir Mila, bahkan sudah lupa jika ini adalah rumah yang ia huni bersama Jessica. "Aman, Sayang."
Mila sendiri berusaha untuk tenang, meski jantungnya sudah berdegup dua kali lebih cepat sekarang.
"Emang pada ke mana?"
Eden menjauh sejengkal dari wajah Mila, lalu menyandarkan punggung sebelum menjawab pertanyaan itu, "Mm, lagi ke rumah mantan suaminya."
"Hah? Kok kamu bolehin?"
Eden mengangguk sekali, tapi sambil berpikir sejenak dan asal membalas, "Yah, anak bungsunya kena kanker. Jadi, dia harus di sana kalau-kalau anaknya itu mati, biar dia punya kenangan gitu. Maybe?" Kemudian, dia tertawa bagai tak punya perasaan.
Mila hanya menaikkan kedua alis, bersikap masa bodoh, dan sama sekali tak ingin tahu lebih lanjut—sebab itu bukan urusannya.
"Hubungan kita ini nggak pasti, kan? Hubungan kita ini nggak ada ujungnya, kan?"
Eden perlu membasahi bibir untuk mengatasi kekikukannya, lalu berdeham, "Kamu pesimis. Nanti kalau waktunya tepat, aku bisa cerain istri aku—"
"—kamu sayang banget sama dia, kan? Buktinya, kamu nggak keberatan tinggal bareng anak-anaknya, bahkan ngebiayain mereka juga," protes Mila dibarengi cebikan. "Bukannya aku ini cuman selingan?"
Eden buru-buru menggeleng, "Hei, Mil, masa gitu ngomongnya, sih?" Lantas, ia menangkup wajah Mila dan kembali mengecup bibirnya. "Aku beneran udah nggak bisa keluar lagi dari perangkap kamu, tahu, Sayang."
"Bullshit."
Meski mengumpat, tapi Mila membiarkan dirinya dijamah tangan-tangan Eden sebab sentuhan pria beristri di hadapannya ini adalah yang terbaik untuk sekarang.
***
"Mau ke mana lo?"
Kayen segera memunggungi cermin demi menemukan Yoska di ambang pintu kamar, lalu mencicit, "Mau ke rumah sakit, Kak."
"Lagi? Ngapain?"
Kayen berpikir berulang kali, tapi dia sungguh tak menemukan kata lain selain kemoterapi di kepalanya. Alhasil, dia perlu beralasan, "Mau kontrol, Kak."
"Emang lo masih sesek?" tanya Yoska sambil bersedekap, kemudian berjalan masuk ke kamar Kayen dengan tatapan menyelidik. "Kayaknya, lo udah jarang pake inhaler, deh."
"I-iya." Kayen jadi harus membasahi bibir supaya gugupnya berkurang. "Masih pakai, kok, Kak."
Padahal inhaler itu sudah lama tidak berfungsi sebab setiap kali sesak Kayen datang, dia sama sekali tak menyembuhkan. Kemudian, ketika Yoska sampai di hadapannya, Kayen justru memundurkan langkah seraya memilin ujung sweater-nya.
"Kakak nggak ngampus?" Mendengar pertanyaan retoris Kayen, Yoska spontan menghela napas. "Jangan lupa jas ujannya, Kak. Oh, sama jaket yang kemaren kita kadoin dipakai, ya."
Yoska mengangguk singkat, "Jadi, lo juga berhenti sekolah?"
"Ng, nggaklah, Kak," tepis Kayen. "Lusa aku masuk sekolah, kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...