"Papa!"
Eden seketika membalik punggung dan menemukan Serin, putri kesayangannya, sedang berlari menuju dirinya.
"Hap! Papa tangkep!" Eden pun segera menggendong Serin begitu dia sampai di pelukannya, kemudian mereka menunggu sampai Mouza sampai di hadapan keduanya. “Hai, Mou. How are you?"
Mouza tersenyum tipis, lalu membalas ramah, "Yah, sedikit sibuk, but I'm okay.” Melihat Serin nyaman berada di gendongan Eden, dia jadi ingin mengelus rambut panjang putrinya, satu elusan dua elusan, lama-lama ia terhanyut sendiri. Tapi, dia tentu perlu mengembalikan atensi sebab sang mantan suami bukan lagi miliknya. “How 'bout you? Your family seems pretty good. Your wife especially."
Eden sempat mengedarkan tatapan menuju arah lain selain mata Mouza, sengaja lekat-lekat menamatkan tatapan ke deretan mainan di rak-rak ini sekaligus sengaja menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan mantan istrinya, baru kemudian berdeham, "Ah, yah, gitu-gitu aja, sih—"
"—but, you're happy now,” tekan Mouza, kemudian berpaling lagi ke buah hatinya dengan Eden. "Serin Sayang, Mama tinggal meeting dulu sampe jam tujuh malem, ya. Nanti Mama jemput di rumah Papa—"
"—aku anter Serin aja ke kantor kamu, kalau udah selese tinggal kabarin.” Eden buru-buru memutus. “Don't worry."
Serin masih tidak bisa memudarkan senyumnya. Selain karena dia sudah bersemangat untuk mengitari seisi toko mainan ini, dia juga merindukan sosok Eden. “Iya, Ma. Serin nggak nakal, kok. Kan Serin udah ulang tahun ke-6 bulan kemaren."
Eden dan Mouza kompak menukar tawa demi sang buah hati yang sudah hidup lima tahun tanpa keutuhan keluarga.
"Jadi, siap keliling cari Barbie sama Ken? Oh, atau mau Lego? Mm, atau rumah boneka aja?"
Mendengar Eden menyebut semua mainan kesukaannya, Serin jadi melonjak girang di atas lengan-lengan kokoh yang menopang badan mungilnya ini.
"Mau, mau! Mau semua boleh, Pa?"
Eden tersenyum sumringah, lantas sebelah tangannya mengurai poni Serin yang sudah sampai menjuntai ke mata. "Boleh, dong. Yuk, Papa beliin."
"Serius? Yay! Nanti kamar Serin bakal penuh mainan!"
Sorakan Serin barusan malah membuat Mouza mencelos seketika, tapi dia buru-buru menyadarkan diri untuk tidak berlarut lagi, baru berujar, "Ya udah, aku tinggal, ya, Mas.” Biarpun, sudah bercerai dan hanya memiliki kenangan atas pernikahan seumur jagung, dia tidak akan bisa mengganti panggilannya untuk Eden. “Ey, Serin Sayang, Mama tinggal dulu, ya."
Ketika Mouza mendekat untuk mencium kening Serin, Eden jadi refleks menjauhkan wajahnya.
"Ati-ati. Nggak usah kepikiran Serin."
Mouza pun mengangguk berkali-kali sebelum melambai pada keduanya.
"Dadah, Mama!"
***
"Uhk, uhk."
Sejak semalam, Kayen tidak bisa tidur karena batuknya tak kunjung mereda. Jadi, hari ini dia putuskan untuk tidak masuk sekolah sekaligus berbohong pada Evraz bahwa hari ini ada dispensasi untuk latihan lomba kepenulisan ilmiah. Demi apa pun, Kayen sudah tidak peduli lagi. Menurutnya, itu adalah satu-satunya alasan paling memungkinkan untuk menutupi kondisi kesehatannya.
Ini sudah gelas kesekian di mana air putih itu Kayen minum untuk membasahi tenggorokan, tapi batuknya tidak mengalami tanda-tanda akan berhenti.
"Akh."
Karena batuk terus-menerus, dada Kayen jadi ikut nyeri. Tidak terhitung berapa kali juga dia sudah menghirup inhalernya. Ternyata, tetap tidak ada perubahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...