"Aku nggak papa, Ma."
Kayen tidak ingat sudah berapa kali ia mengatakan itu—walaupun dirinya tak begitu yakin—pada Jessica. Sebab ibunya ini masih saja menangis, bahkan hanya dengan menatap matanya atau memandangi wajahnya. Padahal, dia sedang seberusaha itu untuk tampak baik-baik saja di depan mereka, setidaknya apa pun yang terjadi dia tetap harus berjuang, kan?
"Aku serius. Aku masih kuat jalan, aku nggak selemes kemaren, kok.”
Jessica mana bisa percaya. Dia sudah kepalang sembab, terlebih saat menangkup wajah dan mematri mata bulat Kayen begini. Lantas, dia melirih, “Adek nggak usah takut, ya? Kata Dokter, kemo itu nggak ada rasanya, kok. Cuma emang banyak efek sampingnya."
Kayen mengangguk sekali, baru bisa mengulas senyum tipis, “Abis kemo hari ini, aku boleh pulang?"
Jessica sempat kelimpungan memberi alasan apa lagi untuk menahan Kayen, jadi dia berpaling sebentar ke sekian orang yang melewati bangku mereka. Kemudian, menyambung hati-hati, "Adek, boleh Mama tahu, kenapa Adek nggak mau tinggal sama Mama?"
Perlahan, Kayen menurunkan tangan-tangan Jessica dari wajahnya sekaligus melarikan diri dari kejaran tatap di mata berkacanya itu.
"Aku kasihan Papa sama Kak Yoska—" "—tapi, mereka nggak kasian sama kamu—"
"—boleh, ya, Ma?" serobot Kayen. "Aku nggak mau bicarain ini, aku cuma pengen pulang ke rumah."
Jessica terdiam beberapa saat, tapi helaan napasnya terdengar sangat berat di telinga Kayen.
Rumah dalam kamus Kayen tetap rumah lama mereka yang atapnya bocor sana sini, yang hanya punya satu sofa buluk untuk ditempati enam orang, dan sekotak TV tabung yang layarnya bersemut.
"Janji Adek nggak bakal kecapean? Janji Adek bakal istirahat terus?"
Kayen mengangguk begitu bersemangat.
"Adek nggak usah masak apa-apa, ya. Nanti Kak Jarel sama Kak Evraz gantian nganter lauk-pauk ke rumah, ya."
"Makasih, Ma.”
Untuk pertama kalinya, Jessica menyaksikan senyum tulus Kayen; yang tanpa beban, yang tanpa paksaan, dan yang tampak menenangkan baginya.
“Aku janji bakal jaga diri aku baik-baik."
"Kalau Papa Adek sama Yoska macem-macem, cepet telpon Mama, ya?" tambah Jessica sambil menahan sesak di dada. “Mama tiap hari bakal ke sana nemenin Adek."
Kayen antusias, ia bahkan tak memikirkan akan jadi seperti apa kemo pertamanya hari ini, sekarang dia ganti memikirkan rencananya untuk ulang tahun Yoska lusa nanti.
"Ma."
"Mm?"
"Kak Yoska ulang tahun tanggal 27 besok," cicit Kayen, dipenuhi ragu sebelum menunduk. “Kira-kira, kita semua bisa bikin kejutan kayak dulu sebelum Papa sama Mama pisah nggak? Soalnya, Kak Yoska cuma mau itu."
Jessica sempat memilah beberapa kata dalam kepala, tapi tak tersusun baik jadi sebuah kalimat untuk diluncurkan lewat mulutnya.
"Permisi. Pasien atas nama Kayen Mahastara, dipersilahkan menuju ruang kemoterapi. Boleh didampingi."
Namun, panggilan perawat barusan justru menyisakan Kayen yang digantung harapan oleh Jessica.
***
"Udah jangan murung gitu terus," tegur Jarel, sejenak menoleh ke tempat Evraz duduk tepat di sebelahnya. Mereka sama-sama belum mau turun dari mobil. Maka, dia menyambung lagi, “Udah sampe, nih. Yuk, nyusulin Kayen. Kita buat dia seneng-seneng aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...