02: tiada secuil percaya

463 61 0
                                    

Hujan turun deras sekali malam ini, tapi Kayen tidak bisa tidur. Dia juga tahu penghuni kamar sebelah pun sama seperti dirinya. Jadi, dia berjalan keluar rumah dan benar sesuai dugaannya, ada Yoska yang sudah mengepulkan asap nikotin di teras sana. Dia tidak berani mendekat, takut Yoska akan mengamukinya seperti biasa.
Sayangnya, untuk kali ini saja, Kayen bersikeras ingin melupakan batasan yang tercipta di antara mereka.

"Kak, udahan, dong. Kakak ngerokok terus kalau malem gini. Aku tahu Kakak pasti banyak pikiran, suntuk, sumpek, dan lain-lain. Tapi, Kakak bisa lampiasin itu ke hal lain selain ngerokok. Yah, contohnya ngobrol sama aku, mungkin."

Yoska mulai terganggu; matanya sudah berkilat, lidahnya sudah berdecak, dan helaan-helaan napas tak serantannya telah hadir. Nyali Kayen bahkan tidak menciut sama sekali saat tatapan tajam, wajah sinis, dan nada ketus Yoska siap mengintimidasinya, "Tahu apa, sih? Nggak usah sok peduli lo. Masuk aja lah, tidur sono. Jangan ganggu hidup gue."

"Kak, aku serius. Nanti kalau kebanyakan rokok, pernapasan Kakak bisa bermasalah. Ntar kalau kayak aku gimana? Kak, sesek itu nggak enak, loh. Rasanya kayak dilelepin di laut berkali-kali. Makin panik, makin abis napas kita."

Yoska refleks melirik Kayen—yang duduk di sebelahnya—sambil menunduk lemah dan memilin jarinya itu. "Udah gue bilang bukan urusan lo. Ini hidup gue, lo nggak perlu ngatur semua yang mau gue lakuin."

"Uhk." Mendadak, Kayen terbatuk saat Yoska secara sengaja membuang asap nikotin itu ke arahnya. “Kak, uhk, Kak."

"Sesek kan lo? Makanya, nurut kalau dibilangin."

"Uhk, uhk." Kini, Kayen semakin sulit mengatur napas biarpun kedua tangannya dia pakai untuk mengibas asap nikotin Yoska. “Kak, udah."

"Masih betah aja di sini? Kan udah gue usir,” desis Yoska sambil berdiri tak serantan, lalu mematikan puntung rokoknya di asbak. “Sumpah. Kapan lo bisa sehari aja nggak ganggu ketenangan hidup gue, sih?"

Setelah itu, Kayen ditinggal sendiri sejak Yoska melenggang masuk ke dalam rumah lagi.

***

"Mama tumben masak kari ayam?"

Jessica menegang sesaat setelah celetukan Jarel ternyata juga menginterupsi suapan-suapan Evraz. Karena mereka bertiga tahu, ini merupakan menu favorit si sulung Yoska.

"Adanya bumbu kari,” balas Jessica seadanya sambil mengambilkan nasi putih dan lauk-pauk untuk suaminya—Eden; seorang bussinessman terpandang di bidang retail, merupakan duda dengan putri sematawayangnya yang masih berusia enam tahun, tapi kini dia tinggal bersama Jessica dan kedua anaknya. Eden memang seumuran Jessica, tetapi karena dia terlambat menikah, maka buah hatinya dengan Mouza—sang mantan istri—itu masih sangat kecil. Bahtera rumah tangga Eden dan Mouza tidak berjalan mulus karena beberapa hal, sehingga hak asuh tidak jatuh kepadanya, melainkan kepada sang mantan istri. “Tambah lagi, Pa?"

Interupsi Jessica sesegera itu membuyarkan lamunan Eden.
Eden tersenyum, lalu menggeleng sekali. "Cukup, Ma. Jarel sama Evraz aja suruh tambah lagi. Kan Jarel ngampus sampe malem, Evraz juga mau ada turnamen basket. Ya, kan?"

Kalau Jarel dan Evraz bilang papa baru mereka ini memang baik, tentu terbukti lewat perhatian-perhatian kecil semacam itu. Sesibuk-sibuknya Eden, dia tetap tahu apa saja yang dilakukan keluarganya. Maka, Jessica perlu beryukur dua anak tengahnya ini mendapat kebahagiaan di sini, meski sebagai seorang ibu dengan empat anak—ia tak bisa beralih memikirkan kelanjutan hidup dua anaknya yang tertinggal bersama sang mantan suami.

"Jangan banyak-banyak, Om. Nanti kembung."

Yah, meski sudah lima tahun tinggal bersama, Jarel tetap sukar mengganti panggilan om dengan sebutan papa. Namun, Eden dan Jessica sama sekali tidak keberatan dengan hal itu, menurut mereka Jarel memang masih butuh banyak waktu untuk menyesuaikan diri.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang