06: tidak kunjung sembuh

384 44 0
                                    

"Kayen!"

Karena seruan barusan, langkah Kayen jadi sontak terhenti. Terlebih, koridor tidak sedang dipenuhi orang, sehingga dia tidak punya tempat untuk sembunyi. Toh, kemarin dia sudah sengaja menghindar, tapi hari ini dia pasti tidak akan lolos.

"Lo kenapa, sih?"

Bahkan, ketika Evraz menyentak lengannya, Kayen tetap bergeming.

"Oke, gue minta maaf. Iya, gue salah emang ngajak lo tanpa bilang kalau di situ ada Papa."

Setelah mengernyit, Kayen jadi kelepasan melebarkan mata, "Papa?"

Sedikit banyak, Kayen merasa sedih mendapati fakta bahwa Evraz kini memanggil orang lain selain Himar dengan sebutan itu.

"Mm, i-iya, Papa Eden.” Evraz buru-buru mengoreksi, lalu cengengesan seperti biasa. “Serius, Kay. Maafin gue, ya? Gue nggak bisa lo cuekin gini terus. Gue janji nggak ngulangin lagi. Gue nggak akan boongin lo. Suer.”

Sekian detik telah Kayen pakai untuk mematri senyum sumringah dan dua jari membentuk slogan peace dari Evraz. Bagaimanapun, dia memang selalu luluh.

“Gue tulus minta maaf, gue juga ngerasa bersalah, Kay. Iya, ya. Gue harusnya mikir, lo pasti nggak nyaman sama suasana di restoran itu. Tapi, Kay, maksud gue nggak seburuk itu, kok. Buat sekarang, jangan diemin gue, dong. Masa lo tega, sih?”

Evraz masih memohon dengan wajah memelas dan suara mengiba, dia bahkan mengacungkan satu kelingkingnya. Demi apa pun, Kayen memang tidak bisa membiarkan hubungannya dengan Evraz merenggang di saat sudah ada hubungannya dengan Yoska yang tak membaik. Jadi, dia berakhir menautkan kelingkingnya juga.

Yes!” sorak Evraz, lantas merangkul Kayen agar mereka bisa jalan berdampingan. "Ke kantin, yuk!"

Terang saja, Evraz lega bukan main. Berhari-hari ini dia dibingungkan dengan perubahan sikap Kayen. Setelah semuanya kembali seperti semula, dia baru bisa tenang. Namun, satu hal paling mengganjal adalah—apakah sesalah itu memanggil papa tirinya dengan sebutan papa juga? Dia bahkan baru tahu bila Kayen tampak membenci sebutan itu ditujukan ke orang lain yang tidak bernotabene sebagai keluarga kandung mereka.

Begitu Evraz dan Kayen duduk berhadapan di salah satu meja, obrolan mereka tiba-tiba berubah jadi serius.

"Aku kecewa tahu, Kak.”

Evraz menyimak, sama sekali tidak menyela sampai Kayen menyelesaikan maksudnya.

"Aku kira, beneran cuman kita bertiga aja."

Tundukan kepala Kayen sedikit banyak memicu gejolak kasihan di batin Evraz, tapi mau bagaimana lagi? Setelah lima tahun berlalu, semuanya sudah berbeda, tidak bisa sama seperti dulu di mana mereka masih tinggal seatap dengan kasih sayang melimpah ruah dari Himar maupun Jessica.

“Sori, Kay. Tapi, lo tahu sendiri kan kalau sekarang sama dulu itu udah berubah?”

Kayen mengangguk, “Sebenernya, aku nggak rela. Ralat, belum rela. Cuma kalau Mama, Kak Jarel, sama Kak Evraz bahagianya gitu, ya aku nggak berhak ngatur.”

“Sumpah, Kay. Gue, tuh, masih penasaran. Alasan kenapa lo nggak mau ikut kita itu apa?”

Kali ini, Kayen menghindari tatapan Evraz dengan memandangi siswa-siswi lain yang tengah menikmati santapan mereka di meja samping kanan dan samping kirinya. Dengan ini, Evraz dapat menyimpulkan bahwa Kayen enggan membicarakan hal sensitif itu. Maka, dia pun harus mencairkan suasana canggung di antara mereka sesegera mungkin.

“Kay. Cewek yang lo ajak ngobrol pagi-pagi kemaren itu, lumayan cakep, loh. Udah punya pacar belum dia? Eh, jangan salah paham. Bukan buat gue, tapi buat lo. Lucu dia. Giginya gigi kelinci, mana rambutnya diponi gemes gitu. Gebet aja udah. Ntar lo berguru ke Kak Jarel.”

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang