07: jangan dijemput

326 41 0
                                    


Kayen mengerang saat melihat unggahan Instagram Evraz.

Sebuah foto keluarga—ada ayah, ada ibu, ada dua remaja laki-laki. Foto ini sepertinya diambil di studio dan si fotografer mengarahkan gaya mereka agar saling menatap sambil tersenyum. Maka, terciptalah kehangatan yang harmonis di sana.

Ekspresi Jarel dan Evraz tampak natural, apalagi senyuman Jessica untuk Eden.

Tapi, satu-satunya hal paling menyakitkan adalah caption yang Evraz sematkan di unggahan itu—introducing; my happy family.

Entah, ini pasti hanya Kayen yang keterlaluan dan berlebihan. Toh, dia seharusnya turut senang sebab sisa keluarganya ternyata hidup bahagia.

Kayen menekankan bahwa dia tidak cemburu sama sekali. Sayangnya, semua itu hanya kedok berupa dusta dan dalih. Karena dia juga punya ingatan menyenangkan dengan Jessica yang demi apa pun ingin dia ulang kembali.

"Ma, Mama mau ke mana?"

Jessica hampir saja membuka payung hitam ini, tapi urung sebab Kayen sudah lebih dulu berdiri di depannya; dengan wajah ingin penjelasan, dengan kedua alis terangkat, dan dengan bibir diruncingkan. Jadi, dia tersenyum, senyum paling menenangkan. Lalu, dia juga memberi Kayen sebuah usakan di kepala.

"Bentar, ya. Mama ada perlu sama temen Mama. Bentar aja, kok, Dek.” Jessica berujar penuh kesabaran dan menumbuk manik mata Kayen lekat-lekat. “Nggak sampe dua jam. Nanti Mama bawain camilan, deh."

Kayen buru-buru menggeleng, lantas memandang langit penuh gemuruh di atas atap rumah tetangga-tetangganya. Sambil menunggu respon si bungsu, Jessica justru membuka lagi payung hitamnya ini.

"Ma, ini ujannya deres. Mama nggak bisa pergi nanti aja?" Kayen masih berusaha menahan, tapi senyum Jessica mampir lagi. “Mama bisa pergi sampe Papa pulang, kan? Di rumah juga nggak ada siapa-siapa, Papa sama Kak Yoska lagi ke bengkel, Kak Jarel sama Kak Evraz lagi ada kemah sekolah.” Ia masih merajuk, siapa tahu rayuannya mempan. “A-aku takut petir, Ma."

Jessica terpaksa meletakkan payung dan menyamakan tingginya dengan tinggi Kayen sambil membelai rambut tebal itu.

"Adek kan bentar lagi naik kelas enam, masa masih kayak anak kecil gini, sih?"

Memang—takut petir—adalah sekadar alasan. Mana mungkin anak laki-laki sepertinya takut dengan hal konyol semacam itu? Kayen hanya merasa aneh dengan penampilan Jessica sore ini; necis, cantik, dia benar-benar berdandan dan mengenakan pakaian terbaiknya. Padahal kalau diingat kembali, mereka hampir tak pernah jalan-jalan sekeluarga. Tapi, hari ini secara tiba-tiba Jessica ingin pergi sendirian, bahkan tanpa berpamitan sebelumnya.

"Tapi, kenapa Mama nggak pamit sama aku? Kalau aku nggak keluar kamar, apa aku bakal tahu Mama pergi?"

Jessica tampak kelimpungan sesaat, lantas dia tetap mengulas senyumnya agar tampak meyakinkan, “Mama kira kamu tidur tadi. Udah, ya. Jangan dipanjangin lagi. Mama nggak enak udah ditungguin temen Mama.” Karena penjelasan itu, Kayen jadi tidak bisa berlama-lama menaruh curiga, tidak sebelum Jessica tiba-tiba membingkai wajahnya sambil berbisik, "Adek jangan bilang Papa kalau Mama pergi, ya."

"Kenapa, Ma? Kenapa Papa nggak boleh tahu? Nanti kalau Papa nyariin, aku bilang apa?”

"Mm, karna Mama takut Papa mikir aneh-aneh. Padahal kan Mama cuman mau ketemu temen Mama, temu kangen gitu karna udah lama nggak ketemu. Kalau Papa nanya, jawab aja Mama lagi ada arisan. Gitu, ya?”

"Temen Mama cowok apa cewek—"

"—cewek. Adek juga nggak usah mikir aneh-aneh—" "—waktu Mama ketemu Tante Rike, Mama nggak dandan secantik ini, Mama juga nggak pake baju sebagus ini."

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang