25: janji semu

270 33 1
                                    

"Nay, masih ngerjain PR?"

Nayva refleks menjatuhkan pulpen dari genggaman setelah Ryani—ibunya—menegurnya dari ambang pintu kamar. Ia juga sigap menutup bukunya, yang dipenuhi coretan-coretan abstrak, lalu teburu membalik kursi belajar yang dia duduki ini agar menghadap sosok Ryani secara utuh, terakhir ia memberi senyum tipis di wajah sendunya.

"Kamu ngelamun, ya?"

Nayva menggeleng, tapi saat Ryani berjalan mendekat padanya, matanya tiba-tiba berkaca-kaca.

Ryani pun mengelus rambut panjang putri sematawayangnya ini, kemudian membawa separuh tubuh itu menuju dekapannya. Tanpa mengatakan apa-apa, dia biarkan Nayva menangis, benar-benar menangis sampai air matanya enggan berhenti mengalir. Sekian menit berlalu, Ryani melepas pelukannya dan menyelesaikan usapannya, kini dia perlu membingkai wajah Nayva.

"It'll be okay, Sweetie, it'll be okay."

Nayva masih gagal menghentikan tangisannya sendiri, sehingga dia berujar sambil mengadu isakannya, "Ma, Papa, Papa dulu meninggal karna kanker paru, kan?"

Ryani menghela napas, membasahi bibir sebentar, lalu menjaga jarak sedikit dari Nayva, tapi tatapannya seketika teralih pada langit malam yang tampak dari jendela kamar. Dia akhirnya melirih, "Papamu meninggal karna udah takdir, Nay."

Nayva akhirnya berdiri, kini dia yang memeluk Ryani lebih dulu dari arah belakang, sehingga tangisan keduanya turut mengalun bersama, "Ma, Papa, Papa ninggalin kita duluan sebelum aku masuk TK, kan?"

Ryani diam, tapi dia membalik badan agar bisa menyediakan bahunya sebagai topangan dagu Nayva.

"Kenapa ada penyakit kayak gitu, sih, Ma? A-apa fungsinya ada di dunia ini?"

"Nay, ini semua udah jalan dari Tuhan, ini semua udah jadi skenario Tuhan. Kamu tahu itu."

"Kalau Tuhan punya takdir kayak gini, kita sebagai manusia cuman bisa iya-iya nerima aja gitu?"

Nayva tahu Ryani tidak akan menjawab pertanyaannya, namun benaknya belakangan ini hanya tertuju pada Kayen.

Bagaimana jika dia kehilangan dua orang dengan penyakit yang sama?

Tidak, Nayva bersumpah itu tidak akan terjadi.

***

"Papa masak?"

Himar mengangguk sekilas saat ia selesai meletakkan piring terakhir di meja makan, lalu tersenyum pada Yoska yang sudah mendudukkan diri di salah satu kursi itu.

"Enak nggak, nih?"

Himar malah tergelak, "Kalau mau enak, mah, ya, yang di resto Padang."

Namun, Yoska tidak menyahut lagi sebab dia sudah menyendok kuah rendang buatan Himar, lantas bergumam, "Enak, kok. Mayanlah. Bisa kita jual di depan rumah, Pa, diplastikin atu-atu gitu."

Himar kembali terbahak, "Ngaco, ah. Sabar, ya. Bentar lagi Papa pasti dapet kerja."

Yoska hanya diam, selanjutnya dia celingukan mendapati ketiga adiknya belum juga sampai di meja makan, padahal pagi-pagi kemarin mereka selalu rusuh berebut tempat di sini. Karena dua hari ini Jessica tidak datang kemari—tentu setelah pertengkaran mereka terakhir kali— dia jadi khawatir. Bagaimanapun, Jessica masih di rumah Eden, sedikit banyak dia berharap hari ini ibunya itu datang.

"Kak! Buruan, elah! Gue telat!"

Yoska menoleh pada teriakan Evraz, sedangkan Himar tidak jadi duduk dan malah mengintip Jarel yang ternyata masih membuat pulau di bantalnya.

"Papa! Kak Jarel molor mulu!"

Aduan Evraz tersebut akhirnya membuat Himar harus turun tangan. Sehingga dia mendekat ke ranjang sana, sejenak mengguncang bahu Jarel, tapi tidak ada sambutan apa-apa. Ketika tangan dia menyentuh kening Jarel, ternyata suhu anak nomor duanya ini cukup tinggi.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang