15: perayaan penuh haru

319 39 1
                                    

Tinggal menghitung jam untuk ulang tahun Yoska, maka Jessica penuhi permintaan Kayen—yaitu memberi kejutan sama persis seperti yang biasa mereka lakukan sekeluarga dulu.

Kayen sadar-sadar saja bahwa Jessica tengah mengamatinya membuat adonan kue, maka dia sengaja memberi topik, “Ma, gulanya berapa sendok, ya? Segini udah cukup apa kurang?”

“O-oh, cukup, Dek. Nanti kemanisan. Kan ada cokelatnya juga udahan.”

Jessica spontan membuyarkan lamunan, lalu mengubah wajah sedihnya menjadi mimik girang bukan main.

"Dek, kalau udah selesai, langsung makan malem, minum obat, terus tidur, ya?"

Kayen berhenti dan sekejap itu menoleh ke Jessica, lantas senyumnya merekah, "Ma, ini nggak bikin aku capek sama sekali, tahu. Kan Mama bantuin.”

Alhasil, Jessica tak memaksa lagi sebab dia hafal betul sekeras kepala apa Kayen. Namun, dia justru gagal menahan isak sesenggukannya yang tiba-tiba hadir tanpa diundang— padahal dia hanya memandangi Kayen sejak tadi. Dia takut bahwa momen ini tidak akan terulang lagi. Ya, sebagai ibu, dia hanya enggan mendapati hal itu terjadi.

"Mama kenapa nangis? Aku nggak papa, Ma, aku nggak papa. Ini buktinya aku bisa bikin kue ulang tahun Kak Yoska. Iya, deh, iya. Abis ini, aku makan malem, minum obat, terus tidur. Masa gara-gara aku nggak mau, Mama sampe nangis?" gumam Kayen, dengan sengaja menyelipkan tawa supaya kalimatnya terasa seperti candaan. “Ma? Aku tahu apa yang Mama pikirin. Dengerin aku, ya? Aku pasti sembuh, kok.”

Tebakan Kayen memang tepat sasaran, tapi Jessica tidak ingin lebih jauh dan lebih lama lagi menunjukkan kerapuhannya di depan si bungsu ini. Maka, dia pun terburu menyeka air mata, lantas mengambil alih mangkuk besar sekaligus whisk dari tangan Kayen.

"Sini biar Mama aja. Mama kan juga pengen bikinin kue ulang tahun buat anak Mama sendiri."

Kayen tersenyum getir setelah membiarkan Jessica merebut tugasnya. Ternyata, dia seketika sesak hanya dengan menyaksikan Jessica ada di sini; serasa mengulang waktu yang pernah ada, serasa mengisi kekosongan seorang ibu di lubuk hatinya. Di dapur ini, dia akhirnya punya momen lagi dengan Jessica.

Jessica mendadak berhenti mengaduk saat Kayen memeluk dirinya. Runtuh sudah pondasinya, terkubur sudah bentengnya. Dia kembali menangis sambil menanti Kayen mengucapkan apa pun itu.

“Mama nggak usah khawatir. Aku berjuang sebisaku, aku berusaha semampuku, aku bertekad sesanggupku. Aku nggak nyerah, Ma, aku nggak putus asa, kok. Jadi, gimana aku bisa lakuin itu kalau penyemangatku tiap hari sedih kayak gini? Jangan nangis, ya, Ma? Aku nggak papa. Mama masih bisa panggil aku ‘Adek’ sampai nanti Mama udah beruban. Okay?”

Maka, adonan ini secepat kilat Jessica tinggalkan agar dia bisa membalas pelukan Kayen—dan menangis untuk terakhir kalinya.

“Maafin Mama, ya, maafin Mama. Mama nggak bisa gantiin Adek buat ambil alih sakit itu. Adek jangan takut, ya? Ada Mama di sini. Masih banyak orang yang sayang sama Adek.”

Bohong bila Kayen tidak takut. Dusta bila dia mengaku berani menghadapi penyakit mematikan ini. Tapi, dia tetap berbisik tepat di telinga Jessica.

“Aku nggak ke mana-mana, Ma. Aku nggak akan ke mana-mana.”

Pelukan Jessica dan Kayen tersebut ternyata disaksikan Himar tanpa keduanya sadari. Namun, dia tidak bisa bergabung dengan mereka. Di tempatnya berdiri sekarang, dia hanya bisa mengadu sesal dan sesak yang bersatu di dadanya.

***

"Kak Evraz!"

Evraz refleks menoleh saat seorang gadis bergigi kelinci barusan memanggil namanya—Nayva.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang