Hujan deras di luar sana. Ada beberapa badan kedinginan di rumah mungil ini, sehingga mereka memilih untuk saling memeluk di sofa lusuh kesayangan itu. Layar TV entah menayangkan acara apa, sebab semua pasang mata menatap datar ke arahnya. Kayen duduk di tengah diapit Himar di sisi kiri dan Jessica di sisi kanan. Kemudian, Yoska berada tepat di sebelah Himar, sementara Jarel berada tepat di sebelah Jessica, sedangkan Evraz duduk bersimpuh di lantai, tepat di depan Kayen. Tentu dengan alasan bahwa dia tidak kuasa bergabung dalam pelukan itu.
"Papa—hh—Mama."
Setiap kali Kayen mencoba untuk bicara; napasnya terputus dan dadanya memberat, sehingga semua orang di situ jadi tak sanggup mendengar kelanjutannya.
"Di-dingin, ya?"
Katanya. Kata Kayen serupa lirihan yang hilang dalam sekejap setelah tertiup angin. Sejurus kemudian, tangan Himar dan tangan Jessica sigap membenahi selimut Kayen, mereka berupaya menutupi badan kurus itu agar semakin hangat. Tanpa mengucap apa-apa lagi, Himar dan Jessica kompak memeluk Kayen dengan batin tersiksa luar biasa.
"A-akhirnya, ki-kita di sini lagi," bisik Kayen, tanpa tahu kalau Yoska dan Jarel sudah meneteskan air mata sejak tadi, tapi dia berhasil menemukan air mata Evraz karena pemilik mata sabit ini berada tepat di depannya. Lalu, dia menyambung , "Di sofa jelek, di depan TV ber- bersemut."
Kesenjangan ini justru sangat dirindukan Kayen. Dia tidak sedang berbohong bahwa dia lebih suka berada di antara orang-orang kesayangannya tanpa perlu memikirkan betapa sulit hidup mereka di dunia ini.
"Ke-kenapa di-diem se-semua?"
Kayen tahu alasannya, tapi dia ingat jika ini masih hari yang sama di mana dia juga membuat Nayva menangis tadi pagi.
"U-udah ma-malem. Ma-mau tidur?"
Evraz melengos lebih dulu, tidak bisa berada di momen ini terlalu lama. Maka, dia segera memalingkan wajah dari suara serak sekaligus wajah pucat Kayen.
Namun, atensi Kayen malah jadi tertuju ke Evraz, hingga dia menegur, "Kak Ev-Evraz. U-udah belajar? Kan u- udah kelas du-duabelas, ma-mau ujian."
Evraz tertunduk, tapi kepalanya digelengkan, jutaan air matanya jadi menetes ke lantai. Dia sungguh tidak punya balasan apa-apa untuk Kayen.
Yoska merasakan tangannya diremas kuat-kuat oleh Himar, pun dengan Jarel yang tangannya digenggam erat- erat oleh Jessica. Serta-merta, masing-masing tangan Kayen memegangi salah satu tangan Himar dan Jessica.
"Kak Evraz nggak kedinginan? Si-sini pelukan sa-sama kita."
Evraz terhenyak, lalu memejam sebab matanya semakin panas.
"Kak?"
"Ng-nggak, gue nggak kedinginan."
"Bener?"
Kemudian, Evraz berdiri dan sengaja memunggungi pesakitan keluarganya. Dia kepalang tak sanggup hanya untuk berdiam di tempat semula. Namun, beberapa detik berselang, Evraz jadi takut mengecewakan Kayen. Dia akhirnya membalik diri lagi, menemukan seraut wajah penuh harap Kayen, sehingga dia pun terduduk kembali.
"Papa sama Mama, uh, a-apa bener u-udah nggak ada pe-perasaan lagi?"
Himar dan Jessica sempat tercekat, tapi saat sepasang mata mereka saling bertemu, ternyata ada debaran yang masih tersimpan di masing-masing hati.
"Ka-kalau nanti semisal ada kesempatan, bisa mulai dari awal lagi, kan? Me-merajut kenangan baru. Di sini, di rumah ini." Lantas, Kayen menoleh ke Jessica, yang matanya sudah sembab. "Ma, Papa se-sekarang udah kerja, u-udah punya uang, Papa nggak bakal ngerepotin Mama lagi." Lalu, Kayen menengok ke Himar, yang matanya sudah memerah. "Pa, Mama se-sekarang u-udah berubah. Dulu Mama khilaf. Papa bisa maafin Mama, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...