Evraz baru saja pulang, bukannya melepas seragam dan sepatu, dia malah terbirit ke kamar Kayen—yang ternyata sudah tertidur. Jadi, dia memastikan derit pintu ini tak membangunkan adiknya, baru melangkah perlahan untuk kemudian duduk di tepian ranjang. Evraz mengamati sebentar wajah pucat Kayen, ada napas tak beraturan yang dia dengar dengan hati teriris, ada selang kecil di hidung yang dia lihat dengan batin mencelos. Ia sempat memejam sebentar, lalu membayangkan betapa menyakitkan jika dia ada di posisi Kayen sekarang.
"Kay—ah, Dek. Geli banget panggilan itu, ye. Makanya, gue nggak pernah manggil lo gitu."
Selanjutnya, Evraz menggenggam tangan Kayen dan mati-matian tak membiarkan sebulir air matanya jatuh ke sana.
"Tadi Nayva nanyain lo. Besok jangan usir dia lagi, ya. Dia ngebet pengen ketemu lo, tahu."
Meskipun berbisik, Evraz tahu ia paling tidak bisa mengecilkan oktaf suaranya. Sudah pasti Kayen bisa dengar semua penuturannya barusan. Maka, ketika Kayen tiba-tiba tertawa sekalipun dua kelopak matanya masih terkatup, dia tidak heran.
"Gue nggak bakat jadi maling, kan? Kalau maling, ngomongnya kudu bisik-bisik."
Akhirnya, Kayen bisa tertawa sambil menemukan wajah Evraz, baru beujar, "Kalau malingnya Kakak, kasian komplotan yang setim sama Kakak. Bukan untung, malah buntung."
"Pinter banget lo ngomong sekarang, Kay."
Kayen terkikik lagi, "Tadi katanya mau panggil ‘Dek’." Ia lantas melirik tangannya yang masih dielus jari Evraz. "Lagian, yang geli kayaknya bukan aku, deh. Tapi, Kakak yang gengsi manggil pake sebutan itu. Ya, kan?"
"Nggak, ah." Evraz mencibir. "Jelek dipanggil Dek, kayak bocah aja. Lo, kan, udah gede."
"Mama masih manggil ‘Dek’."
"Ya, biarin." Evraz mendengkus. "Kan dari dulu lo anak kesayangan Mama. Soalnya, si bungsu.”
“Cemburu, ya?”
Evraz justru tergelak, “Ngapain? Nggak, Kay. Picik kalau gue gitu.”
“Aku paling disayang karna punya asma.” Seketika itu, Evraz bungkam. “Coba kalau aku senormal Kakak, pasti kasih sayang Papa sama Mama ke aku setara kayak ke kalian, kok.”
“Lo nggak usah jelasin. Gue tahu. Itu bukan pilih kasih, tapi ada kelebihan perhatian yang ditujukan ke lo karna alasan khusus.”
“Laiya, Kak. Aku nggak membela diri, aku cuma berandai-andai gitu. Aku juga pengen nggak dilarang ini itu soalnya.”
Evraz menghela napas, lalu tersenyum memahami maksud Kayen.
"Kak."
"Mm?"
Kayen menarik napas sebentar sebelum membuangnya tak serantan, lalu memantapkan hati untuk bisa menumbuk manik mata Evraz, dan mencicit, "Kalau aku nggak ada, Kakak jadi anak bungsu, loh."
"Apaan, sih?!"
Kayen tahu Evraz akan tidak terima, jadi dia buru-buru meralat, "Bentar, sabar. Orang belum selesai ngomong."
"Lagian, nggak pake transisi apa-apa, sih."
Sergahan Evraz barusan malah Kayen balas dengan kekehan sebelum dia menyambung lagi, "Maksud aku, semisal nanti aku nggak ada—"
"—halah, udah pasti nggak bener ini tujuan lo. Berhenti, deh. Males gue," putus Evraz, kemudian cepat-cepat berdiri, meski separuh dirinya terpengaruh dengan kalimat menyakitkan Kayen. "Kalau lo nggak ada, gue nggak bisa jadi anak bungsu. Gimanapun nanti, lo tetep anak bontot Papa sama Mama, lo tetep adek gue, adek Kak Jarel sama adek Kak Yoska. Nggak ada lo yang tiba-tiba dihapus dari kita, nggak ada, Kay. Plis, jangan ngomong sembarangan—"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...