26: semakin memburuk

282 31 2
                                    

"Kita bisa main ke Dufan, kan? Kita bisa ke Ancol, kan?"

Kayen merajuk, tapi Evraz hanya bisa menggeleng, "Virtual aja. Nonton di Youtube, gue temenin sambil makan popcorn nanti."

"Yah, lagian Kakak besok libur sekolah, kan? Masa nggak ke mana-mana?”

Evraz akhirnya melepas kaca matanya, sehingga kini dia hanya berfokus pada cengiran Kayen, "Kenapa ngebet banget?"

"Sebelum Mama kasih tahu Kakung sama Yangti soal aku, kita harus ke sana. Aku nggak mau dilarang banyak orang, Kak. Masa mau seneng-seneng aja susah banget?" Ketika Kayen memberengut, Evraz jadi tidak tega. "Ajak Nayva juga, soalnya Nayva itu ikutan ekskul fotografi, udah pasti jago ambil foto, Kak."

"Mama mau ikut nggak, ya?"

Kayen jadi ikut berpikir, "Mama kan lagi di rumah Kakung sama Yangti, kalau dijemput di sana nanti Kakung sama Yangti nanya macem-macem soal aku ntar malah nggak jadi perginya."

"Mama aja yang ke sini gitu?"

Kayen mengangguk antusias—senang sebab Evraz akhirnya mendukung permintaannya.

"Mau ke mana?"

Namun, keduanya kompak menutup mulut saat Yoska membuka pintu kamar dan memandangi mereka bergantian.

"Gue denger pada mau liburan. Kok bisa punya pikiran gitu?"

Maka, Evraz dan Kayen hanya bisa menukar pandangan, masih bingung harus memberikan reaksi bagaimana jika Yoska sudah mulai menginterogasi mereka begini. Namun, tak lama, Jarel bergabung di sana, seakan hendak menyelamatkan keduanya.

"Besok? Bangun pagi lo pada, kalau kesiangan percuma."

Mata bulat Kayen jadi seketika berbinar, "Beneran boleh, Kak?"

"Gue, sih, iya. Nggak tahu kalau tetua. Kayaknya susah, deh."

Ketika lirikan Jarel mengarah padanya, Yoska justru memalingkan wajah. Tapi, ternyata Evraz sudah lebih dulu berdiri di depannya, ada wajah memelas, ada mata mengiba, sehingga dia gagal menahan senyum.

"Kak, ayolah. Si Kayen pengen banget, tuh. Ntar kalau nggak diturutin, bayinya ngileran."

"Dih! Kak Ev ngaco!" Kayen refleks menampik. "Aku patungan, deh. Sewa mobil aja, yuk?"

"Kak, buset, dah. Jangan jadi manekin doang, dong. Udah tiga suara lawan satu suara, nih."

Maksud Evraz, tentu pihaknya dengan dua pendukung telah keluar sebagai pemenang, sementara pihak Yoska yang tak punya suara berakhir kalah.

"Emang Papa bolehin?"

"Papa lagi. Papa, mah, apa pun mau Kayen juga iya-iya aja,” tandas Jarel.

"Masa, sih? Sejak kapan?"

Karena Yoska masih merasa ingatannya terperangkap di masa-masa menyakitkan itu, dia jadi belum sepenuhnya mengenali Himar sebagai seorang ayah yang mengutamakan Kayen di atas apa pun. Yah, tentu dia sedang seberusaha itu untuk memoles lagi persepsi-persepsi penuh prasangka buruknya. Bagaimanapun, mereka semua di sini sedang mati-matian berubah jadi manusia dengan tenggang rasa.

"Papa bolehin, Dokter lo bolehin kagak?"

Kali ini, semua mulut di sana terkunci rapat, termasuk milik Kayen.

"Tanya dulu. Kalau boleh, ya gue juga boleh."

Meskipun Kayen sudah meruncingkan bibirnya, Yoska harus berlagak tak peduli. Menurutnya begini lebih baik, dari pada nantinya justru berakhir fatal. Sehingga dia memilih untuk merebahkan diri di ranjang sambil tetap memperhatikan ketiga adiknya yang malah termenung di dekat meja belajar Kayen.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang