"Jadi?"
"Jadi, apa?"
"Jadi, kamu beneran cerai sama istri kamu?"
Eden terdiam, beberapa pecahan memorinya kembali melayang pada Jessica di saat Mila sedang menggelayut di dadanya, hingga dia bergumam asal, “I guess."
"Harusnya, kamu seneng, dong—"
"—mana bisa seneng? Minggu depan aku harus menangin tender dan Jessica peran penting buat menangin tender itu. Tender yang kemarin tanpa Jessica aja gagal aku dapetin, masa yang ini gagal lagi?”
Mila mengerjap, ini pertama kali dia melihat sisi frustrasi Eden yang kemudian dilampiaskan dengan nada tinggi penuh kekesalan. Sedikit banyak jadi memicu emosinya, "Yah, emang dia doang yang bisa?"
"She's good—"
"—and you can't replace her?"
"I don't even know—"
"—sick."
Kemudian, Mila beranjak dari sofa berlapis beludru itu sekaligus menjauh dari jangkauan Eden.
"Kamu bisa pulang duluan, kan? Anak aku mau ke sini."
"Apa?" Mila jadi refleks mengernyit, lantas mendengkus tak terima. "Oh, aku lupa kalau kamu juga seorang papa yang sayang banget sama anak perempuannya."
"Jangan bawa-bawa anak aku. Serin itu harta paling berhargaku."
Mila bersedekap, lalu tergelak kegelian, "Iya, tahu. Makanya, aku nggak mau pulang. Aku mau kenalan sama Serin. Kan aku calon mamanya juga."
Eden menggeleng, "Nggak, nggak boleh. Serin masih nggak ngerti, dia nggak ngerti kalau aku sama Mouza udah cerai. Dia pikir rumah ini, Jessica dan anak-anaknya cuman temen-temen kerja aku. Jadi, move out, please."
Mila melawan Eden yang terus-terusan mendorongnya ke arah pintu, kini dia berkacak pinggang dengan wajah merah padam, baru berdesis tajam, "Emang apa salahnya kalau Serin kenal aku sebagai temen kamu juga?"
Eden berdecak, "Anak sekecil itu—"
"—anak sekecil itu nggak tahu kalau papanya doyan selingkuh, kok."
Ting!
Di saat Eden sedang kehilangan kata-kata, Mila sudah menyambut lebih dulu kehadiran Mouza dan Serin di depan pintu. Hal ini tentu saja jadi fenomena mengejutkan bagi Mouza, dia pikir yang membukakannya pintu pasti Jessica, tapi kenapa harus wanita lain?
"Papa!"
Serin berseru girang, tapi setelah menangkap sosok asing di sebelah Eden, dia jadi bingung seketika.
"Hai. Kamu Serin, ya?"
Ketika Mila membungkuk untuk bisa menyapa Serin, tatapan Eden justru bertemu dengan tatapan heran Mouza.
"A-aku kira Jess ada di rumah.”
"Oh, iya. Jess lagi ada arisan."
"Sepagi ini, Mas?"
"Iya, sepagi ini."
Mouza tidak ingin ikut campur sebab ia tahu batasannya—Eden bukan lagi suaminya. Jadi, dia beralih pada Serin dan berujar lembut, "Serin Sayang, main sama Papa dulu, ya. Jangan nakal. Nanti Mama jemput."
"Nggak papa kalau mau nginep sekalian," serobot Mila dengan senyum dibuat-buat dan mimik dipaksa ramah. "Ya, kan? Serin kangen sama papanya."
"O-oh, i-iya, nggak papa. Kalau Serin-nya mau. Serin mau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...