"Kayen udah sadar."
Eden, dengan tenang, memberitahu Jessica sekembalinya dia dari kantin. Himar, Jarel, dan Evraz terburu menyusul masuk ke kamar, sehingga keempatnya kini mengitari ranjang si bungsu, pun dengan Eden yang turut bergabung di sana. Berkali-kali Kayen bertemu tatap dengan Eden, tapi tak satupun dari mereka menyadari bahwa di pertukaran tatap itu terkandung sesuatu yang sulit didefinisikan.
"Ya ampun, Dek. Sekarang udah enakan, kan? Kenapa semalem Adek bisa sampe muntah darah kayak gitu? Udah, pokoknya mulai hari ini Adek bakalan di sini terus, ya?"
Berundungan tanya dari Jessica hanya bisa dibalas senyum tipis Kayen sebagai jawabannya.
Kemudian, Himar mendekat, tahu-tahu saja bibirnya sudah mendarat di kening Kayen, cukup lama, sampai-sampai Jarel dan Evraz yang menyaksikannya merasa sesak. Setelah selesai, Himar pun bergumam, "Kay, jangan kayak gini lagi. Papa mohon, jangan muntah darah lagi, jangan kesakitan lagi, jangan terluka lagi." Walaupun, dia tahu bahwa Kayen sukar memenuhi permintaannya. Lantas, dia beralih mengelus sisian wajah itu, baru membelai rambut tebal bungsunya.
Kayen lagi-lagi hanya bisa mengulas senyum, dia sungguh belum sanggup memproduksi terlalu banyak kata setelah semalaman bergumul dengan obat bius dan peralatan medis. Namun, ketika mata sayunya menemukan Jarel dan Evraz, dia seketika tahu bahwa kedua kakaknya itu sedang tidak baik-baik saja, mereka sekarang sudah menangis, dan terburu menghambur untuk memeluknya.
"Kay, lo kalau sampe kayak gini lagi, beneran nggak gue anggep adek lagi." Evraz memulai seraya menghapus jejak air matanya dan mengusap bekas ingusnya. "Gue nggak pernah secengeng ini. Padahal dari kemaren udah gue tahan-tahan biar nggak banjir, tahunya pas liat lo siuman, gagal."
Himar dan Jessica sempat saling memandang, lantas tak sadar jika mereka juga sudah menukar tawa.
"Kay, gue beneran nggak bayangin darah segitu banyak lo keluarin dari mulut. Kalau gue di posisi lo, gue udah ngeri duluan, sumpah." Jarel tidak ingin berlarut dalam kesedihannya, jadi dia lebih baik mengalihkan ke topik lain. "Lo tahu sendiri kalau gue paling nggak bisa liat darah, setetes aja. Serem."
Evraz lanjut mencibir Jarel.
"Nggak. Nggak papa.” Akhirnya, Kayen berhasil meloloskan dua kata meski harus terbata lemah. "A-aku udah nggak papa."
Jika Himar menggenggam tangan kanan Kayen, maka Jessica menggenggam tangan kiri Kayen. Namun, tatapan Kayen lagi-lagi bertumbuk dengan wajah penuh seringai Eden, entah hanya perasaannya saja atau bagaimana, tetapi orang itu seperti sedang memberinya peringatan secara tak kasat mata.
***
Yoska mengurung diri di kamar—tidak benar-benar mengisolasi dan mengunci semua interaksi, tapi sepulang dari kampus dan kafe, dia memang langsung menuju kemari.
Seisi rumah kosong melompong, terasa hampa sebab Himar dan Kayen tidak menyambut kepulangannya seperti biasa.
Dia terpekur lama, disusul elusan-elusan pada setiap kartu ucapan yang dikumpul jadi satu dalam kotak kecil ini—yang Kayen ingin agar dia membaca kesemuanya. Bukannya Yoska tak pernah sempat, hanya saja dia perlu meneguhkan hati sebelum menyerap tulisan-tulisan dari keluarga yang dulunya pernah sangat ia sayangi itu.
Kartu ucapan pertama dari Himar—papanya.
Yoska. Selamat ulang tahun, ya. Papa seneng kamu bisa bertahan sampe hari ini, Papa bersyukur kamu bisa berjuang sampe detik ini. Papa tahu kamu kesulitan, Papa tahu kamu sebenernya rapuh dan ringkih, Papa tahu kamu punya beban berat sekali di pundak kamu. Kamu bukan Yoska yang temperamen, kamu bukan Yoska yang membenci keluargamu sendiri, kamu cuman Yoska si sulung yang hangat, kamu cuman Yoska si nomer satu yang penyayang. Selama ini, kamu cuman marah sama situasi dan kondisi hidup kita, kamu cuman nggak terima sama takdir kita. Papa nggak akan nyebut siapapun selain kamu di tulisan ini, nggak akan ada nama Kayen, nggak akan Papa minta kamu buat nggak benci Kayen. Papa cuman mau bilang, kalau Yoska yang Papa besarin sampe seusia ini, bener-bener udah ngelakuin yang terbaik, yang terhebat, yang tersempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...