"Kenapa?"
Jessica terduduk lemas, sama sekali tak berharap para lelaki yang sedang mengitarinya ini akan menjawab pertanyaannya barusan.
"Kenapa secepet ini?"
Himar, yang baru dikabari anak-anaknya, kalau Kayen benar-benar tidak bisa bergerak banyak lagi, rasanya seperti ingin mengundurkan diri hidup di dunia ini. Yoska bilang, tulang-tulang Kayen terasa ngilu. Jarel bilang, tulang-tulang Kayen terasa nyeri. Evraz bilang, tulang-tulang Kayen sudah mati rasa.
Mereka berlima sama-sama tertegun di ruang tengah dengan benak berkecamuk.
"Udah. Kalau kita kelihatan sesedih ini, apa Kayen nggak makin kepikiran?" Jarel akhirnya memecah kesunyian. "Besok dia ulang tahun, jadi hari ini kita harus maksimalin buat nyiapin semuanya, biar seenggaknya dia ngerasain mimpinya terwujud."
Yoska dan Evraz menyangsikan ucapan Jarel.
"Tahu sendiri, mimpi Kayen itu cuma nyatuin kita semua lagi." Jarel mengulum senyum, dengan sengaja membuat hati Himar dan Jessica tertohok. "Makanya, kita buat kejutan sama persis kayak di hari-hari ulang tahun dia sebelum Papa sama Mama pisah."
Ide Jarel jelas tidak mungkin mendapat penolakan dari mereka semua yang ada di sana.
"Kebetulan, aku udah beli kadonya duluan, sih."
"Oh, yang jam tangan itu?" sahut Evraz, merasa bangga bahwa ingatannya masih bisa diandalkan. "Gue ngado apaan, ya?"
"Selain kado, kita bikin pesta kecil-kecilan juga. Beli kue, beli balon, beli terompet."
Usulan Jarel mendapat persetujuan dari Yoska, dia bahkan sudah berulang kali mengangguk, "Ajakin Nayva juga, kan dia yang lebih sering sama Kayen. Maksudnya, bikin skenario gitu. Nayva ajak Kayen ke mana dulu, sementara kita nyiapin semuanya."
"Boleh." Evraz sudah membayangkan keseruan acara itu sampai dia tak sadar sudah bertepuk tangan sendiri. "Bagi tugas aja."
Namun, di saat anak-anaknya sibuk merancang pesta ulang tahun Kayen, Jessica masih sulit teralih dari fakta bahwa sel-sel kanker Kayen ternyata sudah menyebar sampai ke tulang, sehingga Himar mendekat padanya, sengaja menjauh sebentar dari diskusi ketiga kakak Kayen itu.
"Jess." Himar tidak meminta Jessica membalas panggilannya, maka dia melanjutkan, "Kayen itu nggak gampang nyerah—"
"—semua dari kita tahu itu, Himar," sambar Jessica, tanpa sadar sudah meninggikan nadanya. "Tapi, di saat kankernya udah semakin parah, dia bener-bener nggak mau kemo lagi. Apa namanya kalau bukan pasrah?"
"Percaya sama Kayen. Hargain keputusan Kayen. Dia pasti tahu yang terbaik buat dirinya—"
"—aku muak denger itu, mana bisa aku ngebiarin anak aku menderita hari demi hari tanpa ngelakuin apa-apa? Ini sama aja dengan kita ngebunuh Kayen secara perlahan. Ini sama aja dengan nyerahin Kayen ke Tuhan tanpa usaha apa- apa. Kalau kita ngabulin keinginan dia—"
"—bukannya kamu yang ngeiyain pas Kayen minta berhenti kemo?"
Jessica serasa sedang menjilat ludahnya sendiri dan dia sekarang tidak bisa berkutik.
***
Sebenarnya, setelah terakhir kali pertemuan sore itu, Nayva mati-matian menjaga jarak dengan Kayen. Namun, niat itu harus diurungkan saat Evraz meneleponnya di hari Minggu ini—tertanggal 12 Januari, hari ulang tahun Kayen.
"Gue nggak sempet beli kado. Gue aja baru tahu kalau lo ulang tahun hari ini."
Kayen memandangi kruk-nya, yang tadi pagi dibeli Jessica dengan sisa tabungannya, begitu mereka duduk di sebuah bangku dekat air mancur. Dia enggan membicarakan apa-apa, tapi mana mungkin dia mengabaikan Nayva?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...