19: salah mencintai

273 38 1
                                    

"Papa sama Mama sering barengan gara-gara aku sakit," bisik Kayen pada kamera yang merekam wajahnya. "Kalau aku nggak ada, mereka balik pisah lagi, dong. Kasian Kak Yoska, Kak Jarel, sama Kak Evraz."

Kemudian, mata bulat Kayen melirik kalender di nakas, besok adalah—hari ulang tahun pernikahan Himar dan Jessica yang ke duapuluh tiga tahun, setahun lebih tua dari usia Yoska. Kebetulan, dia ditinggal sendiri; Himar ada kerjaan di pelabuhan, Jessica perlu ke rumah sebentar, Jarel tentu sedang menghadiri kelas di kampusnya, Evraz sedang ada turnamen basket di sekolahnya, dan Yoska—Kayen tidak tahu apa yang Yoska lakukan. Jadi, dia bebas menggunakan kamera Nayva, yang selama ini hanya sempat merekam dirinya.

Kayen bagai sedang bertanya di sebuah forum, tapi tak satupun orang-orang di forum itu mengerti jawabannya.

“Tanggal tiga Desember, gimana ngerayain ulang tahun pernikahan buat orang tua yang udah cerai? Minta bantuan siapa, ya? Masa Nayva? Ah, nanti malah ngerepotin. Duh, tapi mana bisa bikin kejutan? Kan Mama udah ada suami baru."

Kayen menggerutu sendiri, lalu memberengutkan wajah pucatnya. Dia sedang mati-matian memutar otak demi bisa merealisasikan rencana yang bahkan tingkat keberhasilannya masih nihil.

"Kayen."

Kayen sempat berjingkat sebab dia tak dengar suara pintu kamarnya berderit, jadi dia buru-buru mematikan kamera dan mendelik tak suka pada kehadiran Eden. Pria itu sudah berdiri sambil mengantongi dua tangan di saku celana, lalu mengamati infus Kayen dengan dengkusan remeh.

"Lagi ngerekam apa? Kenang-kenangan buat keluarga kamu kalau kamu mati?"

Kayen menelan ludah. Sungguh, kalau dia punya tenaga, dia pasti sudah menghantam pipi orang ini— meskipun itu akan jadi kejadian paling langka yang pernah dilakukannya selama enambelas tahun hidupnya.

Namun, ketika Eden semakin memangkas jarak, semakin dekat dan dekat, Kayen beringsut mundur padahal dia masih menetap di ranjangnya. Dia refleks memalingkan wajah sambil spontan merapatkan selimut.

"Kamu nggak bilang apa-apa ke Mama kamu—"

"—belum, nanti mau kasih tahu Mama—"

"—jangan!" Eden menyerobot dengan sebuah gelegaran, Kayen jadi terlonjak saking kagetnya. "Kalau kamu bilang, saya berhenti biayain kemo kamu."

Kali ini, Kayen menoleh sigap pada Eden sambil memperhatikan gelagatnya yang panik karena sudah tertangkap basah. "Om ke sini cuma buat ngingetin aku? Terus, aku harus jaga rahasia busuk Om dan ngebiarin Mama aku sakit hati dilukain gitu demi kemo-kemo aku? Nggak usah, makasih. Kalau Om mau berhenti ngebiayain aku, nggak papa, lakuin aja, silakan, bebas. Lagian, itu kan uang Om. Toh, yang penting aku tetep mau nyelametin Mama— akh!"

Kayen memekik lantaran Eden sudah mencengkeram rahangnya, lalu laki-laki ini berdesis tajam, "Jangan main- main sama saya. Kamu cuman bocah kemaren sore dengan takdir paling buruk sedunia. Anak broken home, dibenci kakak sendiri, terus punya penyakit mematikan. Harusnya kamu bersyukur, bukannya malah bikin perkara."

Tentu saja Kayen berusaha melepaskan tangan besar Eden dari kedua pipinya, dia memang berhasil, tapi napasnya jadi berantakan.

"Apa untungnya Om pertahanin Mama aku kalau Om udah punya cewek baru? Om kaya raya, kan? Om bisa bayar apa pun pake uang, kan? Terus, jangan anggep aku cuman tahu soal itu, aku juga lihat sendiri gimana Om ngancurin keluarga aku. Om jelas-jelas nyelingkuhin istri Om dulu buat bisa sama Mama aku, kan? Om itu sampah—mmph!"

Kayen tidak menyelesaikan kalimat penuh amarah itu karena Eden sudah membekap mulutnya, lantas di sela rontaannya ini dia harus mendengarkan bisikan Eden.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang