08: kian merenggang

291 41 0
                                    

Sekarang Kayen kembali merasa kesepian. Setelah insiden di depan rumah tadi, Himar dan Yoska pun sudah mengurung diri di kamar masing-masing, sedangkan Jarel dan Evraz tidak atau belum menghubunginya sama sekali. Dia memang sudah menguap berkali-kali, tetapi memandangi kelap-kelip bintang dari jendela kamarnya terasa lebih menenangkan hatinya.

"Kalau Tuhan cuman mau misahin Papa sama Mama, aku bisa terima, meskipun tetep sulit. Tapi, kenapa Tuhan juga harus misahin kakak-kakak aku juga? Kan nggak adil.”

Monolog lirih Kayen tentu tak mendapat atensi dari siapa pun, karena dia memang hanya sendirian di kamar gelap ini. Ada berbagai macam perasaan dalam dirinya hari ini—terlebih setelah Evraz, kakak yang paling dia kenal luar dalam ternyata tega memukul kakak tertua mereka, Yoska. Tapi, Kayen berusaha memaklumi, mungkin kenyataan sepahit ini belum dapat mereka semua terima, mungkin perceraian lima tahun lalu masih menyisakan luka-luka bernanah tanpa obat penawar bagi mereka, dan bukankah sama seperti yang dia juga rasakan?

Semua perubahan mendadak ini mengharuskan mereka beradaptasi dengan cara masing-masing.

"Mama tenang aja." Kemudian, ada kalimat ambigu yang Kayen bisikkan pada udara "Aku nggak akan bikin Kak Yoska, Kak Jarel, sama Kak Evraz ngebenci Mama."

Beberapa hari terakhir, Kayen merasa dirinya tak begitu baik; sesaknya semakin sering kambuh, batuknya pun belum ada tanda-tanda sembuh, badannya lebih sering kelelahan, dan selera makannya pun menurun drastis.

Kayen berasumsi jika ini terjadi sebab dia sedang stres.

Namun, batuk darah di kantin tempo hari masih mengganggu pikirannya sampai sekarang—yang belum dia ceritakan ke siapa-siapa.

Tengah malam ini, Kayen putuskan untuk segera menutup jendela sebab angin di luar sana sudah mulai bertiup kencang. Karena kantuknya belum kunjung datang, dia jadi bergelung di dalam selimut sambil memandangi langit-langit kamar.

Di sela banyaknya beban yang mengendap di kepala Kayen, paru-paru Kayen juga turut berulah. Dia sesak lagi. Napasnya luar biasa tersengal tak beraturan. Lantas, dia kelabakan meraba nakas demi bisa menggapai inhaler. Sekian detik kemudian, dia terburu mengisap isinya.

"Hah—hosh—hah."

Entah sampai kapan Kayen akan mengalami ini setiap malam.

***

Latihan basket sore ini ditemani mendung di langit sana.

Evraz berulang kali gagal memasukkan bola ke ring, dia membiarkan bolanya direbut, dia bahkan kewalahan sendiri. Fokusnya mendadak raib. Sejak semalam dan sejak berani memukul Yoska—dia benar-benar tidak tenang. Sejak semalam dan sejak kecewa dengan keputusan Kayen—dia sungguh tidak bisa bersantai.

"Oi! Evraz!"

Lian jadi berlari menghampiri Evraz, lalu memberi rangkulan di bahu rekan setimnya ini.

"Ngapa lo? Abis ditolak sama gebetan lo, ya?"

Evraz mencebik, "Ngaco. Mana sempet gue mikir begituan?” Lantas, dia berjalan lunglai ke pinggir lapangan dan duduk sambil meluruskan kaki di tanah. Begitu Lian mengikuti jejaknya, dia bergumam lagi, “Sori, latian hari ini gue keliatan nggak niat."

"Lagi banyak pikiran?" tebak Lian. “Gue perhatiin hari ini tumben lo sama Kayen nggak saling nunggu di gerbang, terus jalan bareng ke kelas masing-masing. Kan biasanya lo berdua udah ngalahin couple-couple baru jadian itu. Oh, lo juga nggak nyamperin dia pas istirahat, bahkan lo nggak ngajakin dia ngantin.”

Evraz menyimak semua rincian kegiatan yang disebut Lian. Benar bila dia sengaja menghindar sebab dia masih tidak terima. Bagaimanapun, perasaan ditolak atas usahanya untuk memperbaiki hidup Kayen masih terasa menyakitkan baginya.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang