11: memori perpisahan

339 40 0
                                    

Ini pertama kali suasana di rumah sederhana mereka terasa canggung.

Himar dan Jessica duduk di depan keempat anak-anaknya, tapi dengan jarak dan tanpa menukar tatapan, sehingga Yoska, Jarel, Evraz, dan Kayen—yang duduk sejajar—hanya bisa menunggu.

"Yos, Rel, Ev, Kay.”

Himar akhirnya memulai setelah berhasil menguatkan diri sendiri untuk melanjutkan sisanya. Namun, karena dia tidak kunjung menyambung, Jessica jadi sigap mengambil alih.

“Gini. Kalian kan udah pada gede, bukan anak-anak lagi. Di obrolan ini, kita bakal bicarain hal-hal serius, jadi Mama harap kalian bisa hadepin ini seperti orang dewasa pada umumnya.” Kemudian, Jessica mendapati empat pasang mata itu terarah padanya, lalu dia menambahkan, “Kalian tahu sendiri gimana ekonomi keluarga kita. Selama ini, kita kesusahan menuhin kebutuhan sehari-hari. Tagihan hutang di mana-mana dan udah nggak ada barang yang bisa digadai lagi. Belum sekolah kalian. Yoska bentar lagi lulus, ada biaya wisuda yang harus dibayar. Kayen juga butuh biaya pengobatan, inhaler dia itu penting.”

Dengan prolog tersebut, empat kepala ini bisa mensinyalir bahwa akan ada tanda-tanda tak baik yang harus mereka terima.

“Terlebih, usaha Papa kalian udah ngabisin semua uang yang kita punya tanpa ngehasilin apa-apa sampe detik ini. Mama jadi khawatir sama kehidupan kita ke depannya. Lebih dari itu, Mama juga takut soal kesehatan Kayen, yang bisa aja memburuk kalau nggak dapet penanganan terbaik. Apalagi inhaler Kayen beberapa bulan ini kita beli pake uang hasil hutangan.” Kemudian, Jessica menghela napas berat, lantas menyambung lagi, "Mama malu ngutang sana-sini. Jadi, karena alasan itu, Mama sama Papa udah ngomongin ini baik-baik dan kita sepakat buat nggak tinggal bareng lagi. Mama nggak sanggup, Mama nggak mampu.”

"Bentar.” Yoska—sebagai si sulung mewakili adik- adiknya di sini—menyambar, "Intinya, Mama mau ninggalin kita karna Papa udah nggak bisa diandelin? Intinya, Mama mau keluar dari rumah ini semata karna ekonomi kita nggak bisa diperbaiki? Terus, Mama yakin di luar sana hidup kita bakal membaik?"

Jessica mengangguk lemah, "Mama cuma mikirin kalian. Kalau kalian berempat tinggal bareng Papa kalian yang seboros ini, kalian mau hidup kayak gimana?"

Yoska pun melirik ketiga adiknya; ada Jarel dan Evraz yang sama-sama menunduk, sedangkan Kayen mendongak, tapi sambil memilin jemarinya.

"Terus, Mama mau tinggal di mana? Terus, Mama mau ngidupin kita pake uang apa kalau kita berempat ikut Mama?”

“Mama kan masih kerja jadi buruh pabrik, Yos. Lagian, selama ini kan emang Mama yang ngehidupin kalian. Papamu ini cuma jadi pengangguran. Nanti Mama usahain cari uang tambahan. Selain itu, papamu juga masih wajib nafkahin anak-anaknya biarpun udah nggak jadi suami Mama. Tenang aja, itu urusan Mama, kalian nggak perlu mikirin."

"Terlepas dari usaha Papa yang nggak berhasil- berhasil, Mama tadi juga pake Kayen di atas semuanya. Sumpah nggak masuk akal. Kayen itu nggak papa, Ma."

Kini, emosi Yoska malah tersulut. Dia sungguh tidak berharap keluarganya tiba-tiba membicarakan hal paling menyakitkan seumur hidup dia dan saudara-saudaranya— perceraian, perpisahan, terciptanya dua kubu, semua itu tidak pernah ada dalam kamus anak-anak ini.

Himar tidak bisa memberi komentar lagi. Toh, dia mengakui bahwa tuduhan Jessica terhadapnya benar. Karena dia, mereka semua sengsara. Karena dia, mereka semua menderita. Hidup dari hutang sana-sini, SPP sekolah menunggak, inhaler Kayen tak terpenuhi. Dia sama sekali tak bisa memaksa kehendak Jessica, sebab yang dia mau adalah kebahagiaan istrinya.

"I-iya, Ma. Aku nggak papa. Aku kan udah nggak sesek lagi, jadi udah nggak butuh inhaler juga. Aku mending tinggal di rumah ini selamanya asalkan kita semua bareng-bareng, Ma."

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang