20: ulang tahun pernikahan

299 34 3
                                    


"Hai, Ganteng." Sapaan Evraz membuat senyum tipis Kayen terulas lemah. Setelah duduk di tepi ranjang Kayen, dia pun bertanya, "Abis kemo, ya?"

Kayen mengangguk, tampak tak berdaya di mata Evraz.

"Udah makan?" Evraz sempat melirik nakas, hanya ada buah-buahan di situ. "Oh, belom jamnya makan, ya? Kalau gitu, gue kupasin apel buat camilan, deh."

Ketika Evraz meraih pisau dan mulai mengupas apel seperti katanya, Kayen justru mengamati gerak-gerik kakak nomor tiganya ini. Evraz datang masih dengan seragam melekat, masih dengan ransel tersampir, dan dengan sepasang mata berkaca yang membuat Kayen merasa sesak.

"Kak Ev." Akhirnya, Kayen tidak tahan untuk mengucap sesuatu. Dia hanya ingin seperti dulu, leluasa berbicara dengan siapa saja, mengatakan banyak kalimat tanpa harus sesak setelahnya. "A-aku nggak bisa nonton Kakak turnamen basket lagi."

"Bisa ntar, tinggal satu, pas gue mau lulusan. Terakhir itu," balas Evraz tanpa melibatkan perasaan pribadinya yang sudah ingin menangis saat ini juga, kemudian dia selesaikan satu kupasan apel dan meletakkan potongannya di piring. "Kenapa, ya, orang sakit pasti buahnya apel? Nggak di sinetron atau di film gitu, pasti adegannya ngupasin apel."

Kayen tahu Evraz hanya sengaja mengalihkan topik. "Kak—hah—Kak."

"Kalau nggak kuat ngomong, udah diem aja. Nanti gue suapin apelnya." Padahal Evraz paling ingin mendengar celotehan Kayen, tapi dia tahu adiknya itu sedang kesulitan menarik napas. "Nah, udah jadi. Yuk, bilang aaa."

"Kakak—hh—udah punya pacar?"

Karena pertanyaan Kayen barusan, Evraz jadi spontan menjauhkan kembali suapannya.

"Kenapa lo nanya-nanya gituan?"

Kayen tersenyum lagi, "Kepo aja. Ta-takut Kakak jadi— hh—jomblo terus." Kemudian, dia paksakan sebuah tawa, tapi rasanya bagai menyayat hati Evraz menggunakan belati panas.

"Ntar kalau Tuhan ngirim jodohnya juga gue nggak bakalan jomblo terus."

Karena Evraz masih mengacungkan sepotong buah apel di udara, Kayen jadi membuka mulutnya. Lantas, sepotong buah apel itu bisa dia kunyah dan telan secara perlahan.

"Kak, tadi Kakak nanya, ke-kenapa buah apel selalu jadi—hah—buah yang dikupasin buat orang sakit, kan? Iya, soalnya kalau—hah—buah duren, nanti yang sakit malah mules."

Sekarang Evraz yang tersenyum getir mendapati Kayen harus bicara dengan napas terputus-putus begitu.

"Lo nggak ada bakat ngelawak, tahu,” ujar Evraz setelah meletakkan kembali pisau bekas mengupas apel tadi di nakas, baru beralih memandang lamat-lamat pada wajah
pucat Kayen. "Dek. Gue pengen manggil lo adek, tapi udah kebiasaan manggil nama lo doang."

Kayen menghela napas sebelum mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu melirih,"A-aku udah gede, Kak. Ja-jangan dipanggil Adek terus."

"Iya, ya. Kan udah kelas satu SMA, abis itu naik kelas dua, lanjut lagi naik kelas tiga, terus wisuda, terus kuliah—"

"—Kak, kayaknya kejauhan. A-aku nggak bisa sampe situ."

Evraz diam, tapi hatinya porak poranda.

"Kenapa nggak bisa? Kan nggak ada yang tahu ada keajaiban model apa abis ini. Lo harus optimis, dong. Jangan putus asa—"

"—Kak, aku juga masih punya otak buat mikir logis."

Kali ini, Evraz kembali gagal membendung air matanya. Kali ini, Evraz kembali menunjukkan kesedihannya tepat di depan Kayen.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang