12: gagal pulang

313 36 0
                                    

"Kak Yoska masih di kampus, Pa?"

Himar mengangguk sekali, "Sibuk bimbingan, kan lagi skripsian.” Kemudian, dia duduk di sebelah ranjang Kayen sekaligus menemukan cairan infus yang tinggal separuh. “Infusnya mau diganti sekarang?"

"Nanti aja, Pa.”

Meski masih merasa janggal terkait Himar—yang mendadak menemaninya tanpa sebatang rokok dan tanpa wajah mabuk—dia tetap tersenyum. Setidaknya, dia lega bahwa sedikit demi sedikit Himar mulai mendengarkannya. Toh, dia juga tidak berharap ada perhatian, yang dulu pernah ada dan lima tahun ini hilang, akan kembali lagi.

“Papa udah makan belum?”

Himar berdeham sejenak, “Belom, sih. Tapi, Papa emang masih kenyang.”

“Oh, terus di rumah ada makanan apa? Papa belom makan karna nggak ada yang masak, kan? Kak Yoska gimana? Kak Yoska suka lupa sarapan, loh.”

Himar jadi mencelos seketika, “Gampang. Nggak usah dipikirin. Ternyata selama ini Papa sama Yoska emang bergantung banget sama kamu, ya, Kay.”

Kayen tertegun sebentar, baru menyengir, “Aku pengen pulang, Pa. Kenapa aku dirawatnya lama, sih? Terus, kenapa banyak tes juga? Capek.”

Keluhan Kayen barusan benar-benar mengukir ulang memori lampau di mana Himar sengaja mengabaikan semua hal yang terjadi di rumah. Baru dia sadari—itu adalah sikap kelewat egoisnya. Dia memang terpuruk, tapi tidak seharusnya dia melupakan anak sulung dan anak bungsu yang telah memilih dirinya.

“Biar cepet sembuh dan nggak balik-balik ke sini lagi.”

Kayen tetap tidak puas dengan jawaban itu, namun dia tidak ingin memperpanjang lebih lanjut, sehingga dia kembali ke topik awal, “Papa nggak ada uang, ya? Mau aku pinjemin ke Kak Jarel atau Kak Evraz?”

Himar menggeleng, “Ngapain? Nggak usah. Udahlah, Kay, Papa bisa urus diri sendiri, kok. Yoska juga aman. Dia udah gede.”

Kayen akhirnya tidak mendebat lagi semenjak Himar menekan kalimatnya, tapi dia tidak bisa teralih dari Yoska. Maka, dia bergumam, “Kak Yoska sibuk banget, ya, Pa? Bukannya dia nggak mau jenguk aku, kan?”

Kini, Himar tergelagap. Namun, dia buru-buru menyembunyikan ekspresi bingungnya dan segera berujar, “Namanya juga udah semester delapan, pasti sibuk, Kay. Tadi udah Papa tanyain, katanya kalau sempet pasti ke sini, kok.”

Namun, Kayen begitu saja percaya pada setiap kebohongan yang dijejalkan padanya, entah dari Himar maupun Jessica.

“Mm, Papa sama Kak Yoska bisa ngurangin rokoknya nggak?”

Karena tiba-tiba arah obrolan berganti, Himar jadi seketika tenang. Dia pun menyanggupi dengan senyuman—senyum yang lima tahun ini tidak pernah dia tunjukkan di manapun, bahkan di depan Kayen.

“Kalau Papa, sih, bisa. Kalau Yoska kayaknya susah.” “Yah,” kesah Kayen, kecewa. “Aku, tuh, nggak mau Papa sama Kak Yoska sesek kayak aku. Soalnya, nggak nyaman banget rasanya. Terus, aku pernah baca juga, kalau keseringan ngerokok berpotensi kena kanker paru-paru, tahu.”

Sekejap itu, Himar menegang. Dia jadi teringat lagi dengan penjelasan Alka tentang kemungkinan Kayen sebagai pengidap kanker paru-paru.

“Iya. Nanti Papa kasih tahu Yoska, ya. Buat sekarang, kamu cuma perlu mikirin diri kamu sendiri, Kay,” terang Himar, seketika sadar bahwa sudah lama dia tidak mengobrol sehangat ini dengan Kayen. “Papa mau nemuin Dokter kamu dulu, ya, hasil tesnya udah keluar.”

Kayen tidak berkelakar lagi, sebagai gantinya dia mengulas sebuah senyum, meski dengan napas yang masih sulit diatur. Namun, adanya Himar di sini, dia bisa merasa sangat tenang sekarang. Ya, seburuk apa pun perlakuan Himar padanya, dia benar-benar tidak bisa membencinya. Kenapa? Tentu karena dia jauh lebih mengasihaninya. Terlebih, sepeninggal Jessica, sepeninggal ibunya yang lebih memilih pria lain.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang