Sepulangnya Kayen dari restoran, dia benar-benar hanya ingin mengabaikan telepon atau pesan dari Jarel dan Evraz—terlebih Evraz, yang ternyata tega membohonginya. Memang tidak seharusnya ia kesal, lagi pula siapa yang tahu jika dia menghindari laki-laki itu? Ya, tidak ada yang tahu selain dia sendiri.
Bahkan, kini tatapan Kayen hanya tertuju pada langit- langit kamar yang sudah bocor sana sini. Sekejap kemudian, dia buru-buru menegakkan diri ketika tiba-tiba pintunya menjebelak lebar—ada Yoska di sana.
"Dari mana lo?" Karena Yoska tahu seharusnya Kayen sudah di rumah sejak sore tadi, jadi ini saat yang tepat untuk menginterogasi. “Mau alesan ekskul lagi?"
Kayen lupa, dia belum menyiapkan alasan apa pun. Maka, dengan sengaja dia membelokkan, “Kakak nggak kerja? Jam segini tumben udah di rumah—"
"—nggak usah ngalihin!"
Kayen jadi berjingkat kaget saat Yoska membentaknya dengan suara keras. Dia tidak membantah lagi begitu Yoska sampai di dekat ranjang tempatnya terduduk.
"Dikasih apa lo kali ini? Ditraktir apa lo kali ini?"
Kayen masih berpikir, ia memutar otak. Tapi, dia justru tertuju pada bau asap rokok dari badan Yoska yang menguar tajam.
"Kakak barusan ngerokok lagi?" Padahal, dia berharap Yoska mau berhenti mengisap batang nikotin membahayakan itu. “Kak, Kakak ngerokok seberapa banyak sampe bau asepnya nggak ilang-ilang gini?"
Yoska seketika melengos sebelum tunjukkan raut tidak terima, baru berdesis, "Kan udah gue bilang nggak usah ngurusin hidup gue! Gue tanya buat dapet jawaban! Bukan buat dapet ceramah!"
Sejurus itu, Yoska berdecak sambil mendorong kening Kayen.
"Gue lagi ngomong sama lo, bukan sama tembok."
"Kak Jarel sama Kak Evraz ngajakin aku makan—" Kayen menggantung sebentar, masih dilemma perkara haruskah dia berdusta atau jujur saja. Lantas, setelah sekian detik perang batin, dia meyakini bahwa lebih baik tak perlu menutupi apa pun dari Yoska. “—sama Papa tiri mereka juga, Om Eden—"
"—shut the fuck up!" sambar Yoska, seketika membuat Kayen bergidik ngeri sebab kini kakaknya tampak belingsatan. "Don't you dare to say his name!"
Kayen diam, dia cepat-cepat menunduk sebelum Yoska bisa menemukan tumpukan air mata di pelupuknya.
"Ngomongin apa aja?"
Akhirnya, nada Yoska berubah melunak setelah dia berhasil mengendalikan emosi.
"Ng, cuma basa-basi, Kak."
"Basa-basi apa?" desak Yoska. “Ngomong yang jelas, dong."
"Mm, ya cuma bahas sekolah aku sama hal-hal nggak penting."
Ternyata, pembicaraan mereka usai di situ. Kayen berhasil menahan sesak di dadanya sampai Yoska berpaling menuju meja nakas dan meletakkan sesuatu di sana.
"Gue nggak bisa tidur gara-gara lo batuk terus. Kalau sampe ntar malem lo masih batuk, gue suruh lo tidur luar."
Setelah Yoska menutup pintu kamar, Kayen menoleh ke samping ranjangnya—ada obat batuk.
***
"Duh. Masa Kayen udah tidur, sih? Chat gue dianggurin, nih."
Jarel mengesah, dumelan Evraz barusan otomatis
menghentikan langkahnya di tengah anak tangga. Sehingga, dia perlu menimpali, “Ya udah, biarin. Capek kali Kayen."
"Duh. Jangan-jangan dia marah sama gue. Mampus, dah."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...