Kayen tidak berani melakukan hal lain selain menonton TV dari ranjang yang dia duduki, tapi mata sayunya tak luput dari Yoska di sofa sana, yang tidak sedang memperhatikan sekitar dan hanya berkutat dengan ponselnya. Kayen memang sudah gatal ingin bertanya; kenapa Yoska tidak ke kampus dan tidak ke kafe? kenapa Yoska tidak kuliah dan tidak bekerja? Namun, dia masih ingat kalau Yoska benci ditanyai terus menerus seperti itu.
"Kalau nonton, ya nonton aja. Nggak usah nyuri-nyuri pandang ke gue."
Kayen mengerjap, lalu bergumam kikuk, "Ng, nggak, Kak. Aku nonton TV, kok."
"Ya kali, TV-nya di mana, matanya ke mana. Keliatan dari sini, tahu. Nggak usah ngeles."
Alhasil, Kayen kehabisan kata-kata untuk mengelak lagi, jadi dia kembali berusaha memusatkan atensinya pada acara ragam yang ditayangkan pukul sepuluh pagi ini, meski di sela-sela pikirannya masih tertuju pada kebiasaan tak wajar Yoska—mana mungkin kakaknya yang hobi memforsir diri itu punya waktu seluang ini untuk bisa berleha-leha?
"Gue nggak ada kelas hari ini. Kafe juga libur akhir tahun." Yoska tiba-tiba memupus habis rasa penasaran Kayen dengan penjelasan itu. "Lo pengen tahu itu, kan?"
"Keliatan, ya, Kak?"
"Lagian kepo banget. Emang gue anak kecil yang kudu diingetin ini itu?" Yoska tidak bermaksud memarahi, dia hanya ingin Kayen tak melulu memikirkan orang lain. Tapi,
kalau dia bilang begitu, pasti ditepis. "Gue udah kelewat paham sama skema hidup gue. Lo mending peduliin diri sendiri dari pada peduliin orang lain.”
“Kok orang lain? Kakak kan sodaraku. Keluargaku.” Sesuai dugaan Yoska, dia akan disanggah sedemikian rupa.
Kemudian, Yoska beranjak dari sofa dan berjalan mendekat ke tempat Kayen.
"Setan kaya raya itu ngapain lo emang?"
Akhirnya, Yoska berhasil mengungkap satu-satunya hal janggal yang memenuhi otaknya dua hari ini. Namun, Kayen justru kelimpungan sendiri, dia mendadak gelisah saat tatapan Yoska mulai mengejar kejelasan dari matanya.
"Nggak usah boong lo, ya. Gue tahu lo nggak bakalan bisa boong."
Yoska tidak bermaksud mengancam, tapi dia sejeli itu untuk tahu bahwa Kayen lah yang sedang diancam Eden.
"Aku boleh berhenti kemo nggak, Kak?" cicit Kayen, yang sama sekali tak sesuai dengan arah pembicaraan.
"Hah?" Terang saja, Yoska mendelik heran. "Ngaco lo."
"Aku ngga mau kemo, Kak. Udahan, ya?" mohon Kayen, kali ini dengan wajah memelasnya.
Yoska mengesah, seketika itu tahu bahwa maksud Kayen bukan ke arah sana, hingga dia berdesis, "Lo nggak mau dibiayain sama suaminya Mama? Ya, sama. Gue juga ogah banget kita masih bergantung sama dia. Tapi, lo butuh itu, Bego."
"Kak," panggil Kayen, serta-merta membuat Yoska sigap memusatkan fokus pada wajah pucat pasi itu. "Mama aja nggak percaya sama aku. Kenapa Mama lebih percaya orang itu?"
"Ngomong yang jelas, dong. Sekalian semuanya gitu, jangan dipatah-patah." Yoska memang geregetan sebab Kayen hobi berbelit-belit. "Serius."
"Aku denger orang itu nelpon cewek lain selain Mama, pake sayang selayaknya lagi pacaran. Tapi, Mama bilang aku cuman lagi cari kesalahan dia." Akhirnya, Kayen mengadu tanpa mau peduli apa respon Yoska setelah ini. "Mama bisa kita selametin, kan?"
Yoska malah mengangkat alis, "Jadi, si laknat itu nyelingkuhin Mama?"
Iya, sama kayak dulu Mama nyelingkuhin Papa—Kayen membatin keras-keras, tapi dia tahu konsekuensi setelah ia mengatakan itu, semuanya akan semakin berantakan. Yoska akan naik pitam duluan dan sudah pasti makin membenci Jessica nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...