Lapangan SMA 88 sudah dipenuhi siswa-siswi yang saling bersorak demi mendukung tim kelas mereka di turnamen basket semester ini. Tribun bahkan sudah tak memuat tempat kosong, balkon lantai atas pun sudah tak punya celah, dan Kayen berada di pinggir lapangan.
"Kak Evraz! Semangat!"
Evraz tahu siapa pemilik suara barusan, jadi saat men- dribble bola, dia sempatkan untuk menengok. Benar dugaannya, ada Kayen yang sedang membalas senyumnya. Mereka sama-sama antusias sebab ini bisa jadi turnamen terakhir Evraz dan aksi suporter terakhir Kayen— mengingat sebentar lagi anak-anak kelas tiga akan ujian kelulusan dan anak-anak kelas satu akan persiapan ujian kenaikan.
"Oi! Evraz!"
Karena Lian—rekan setimnya—sudah berseru, Evraz pun segera kembali memusatkan konsentrasi. Dia mengoper bola menuju Lian, kemudian berlari lagi mendekati ring. Begitu Lian bersiap mengembalikan bola padanya, dia patut waspada akan tim lawan yang bersiap merebut benda bulat ini setiap dia lengah. Maka, begitu bola berhasil sampai di jangkauannya, dia melompat tinggi-tinggi sekaligus melempar bola menuju ring.
Penonton sempat tahan napas demi menanti hasilnya, tapi sedetik kemudian mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan—bola masuk, timnya dapat poin unggul.
Selebrasi Evraz disambut pelukan teman-temannya, tapi mata sabitnya tetap tertuju pada Kayen sampai wasit membunyikan peluit, tanda permainan telah usai sekaligus tanda bahwa dia harus segera menemui adiknya.
"Seru nggak? Mainku tadi bagus nggak, Kay?”
"Iyalah! Nggak papa biar Kakak rada-rada narsis, tapi keren banget tadi!" Kayen bahkan sampai kelepasan melonjak, sehingga Evraz turut senang dengan respon itu. Kini, dia mengelap keringatnya sambil masih memperhatikan Kayen bicara. “Kalau menang dapet apa emang?"
"Dapet popularitas.” Ada tawa setelah kalimat kelewat percaya diri Evraz barusan. “Jadi terkenal dan diomongin cewek-cewek.”
"Serius, Kak,” cebik Kayen. Dia hafal bila Evraz memang susah diajak bicara tanpa main-main, maka dia menyambung lagi, “Aku kalau jadi Kakak, mah, mending sekalian jadi Kapten. Makin dilirik cewek-cewek, kan?”
Namun, Evraz hanya menanggapi gurauan Kayen dengan kikikan singkat.
Akhirnya, Evraz mengajak Kayen meninggalkan euforia di lapangan hingga mereka berakhir duduk di bangku taman dekat ruang guru. “Enakan di sini. Udah sepi, adem lagi,” ujarnya, sesaat sebelum menenggak habis air di botol. “Nanti gue traktir, ya? Kan tim gue menang."
Kayen membolakan matanya, "Kakak dikit-dikit traktir, sama kayak Kak Jarel. Boros amat. Ngabisin duit mulu.” Dia malah merasa sayang jika harus mengiyakan ajakan tersebut.
"Lah. Orang, mah, di mana-mana kalau ditraktir itu seneng."
Kayen mendecih sesaat, "Mending ditabung, tahu. Kan bisa buat kebutuhan mendadak nanti."
"Ya elah. Duit itu fungsinya diabisin, duit itu ada buat dipake. Ya kali disimpen mulu, ngapa nggak dilaminating aja sekalian?"
Kayen memberengut, memang percuma berdebat dengan Evraz. “Abisnya, Kakak jajan mulu, loh. Mana belinya yang mahal-mahal lagi."
"Eh, Kay." Evraz menepuk bahu Kayen, lalu memutar badan agar menghadap wajah polos adiknya. “Emang salah kalau gue jajanin adek gue sendiri? Kan lo nggak dapet apa yang gue dapet, makanya gue mau bagi-bagi sama lo, tahu."
Tapi, ingatan Kayen malah tertuju pada Yoska— bukankah kakak sulung mereka itu juga tak dapat kesenangan semacam ini? Jika dia bisa meminta apa pun dan menikmati apa pun bersama Jarel dan Evraz, Yoska justru tidak merasakan apa-apa, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...