22: keputusan gegabah

299 37 0
                                    

"Ma? Kenapa ngelamun?"

Kayen bertanya karena Jessica terus mengaduk bubur di mangkuk, dia jadi merasa omongannya tempo hari lalu adalah satu-satunya hal paling memungkinkan yang melatarbelakangi perubahan sikap ibunya.

"Eh, i-iya, Dek. Aaaa." Jessica pun refleks menyuapkan sesendok bubur ke mulut Kayen. "Enak? Mau udahan?"

Kayen mengangguk demi memudahkan Jessica setelah ini, tapi dia justru curiga dengan ekspresi itu—ekspresi sarat kekalutan, seperti habis tertangkap basah. Maka, Kayen hati-hati mencicit lagi, "Mama marah sama aku, ya? Apa gara-gara yang aku omongin sore itu di taman?"

Jessica mendongak dan menemukan mata bulat Kayen yang sayu, lalu dia mengulas senyum samar, "Ih, mana bisa Mama marah sama Adek?" Kemudian, tangannya menggenggam tangan Kayen, mengelus lembut punggung tangan itu, dan melanjutkan, "Adek pasti yang marah sama Mama. Mama, Mama, Mama udah membekaskan trauma sebegitu menyakitkannnya buat Adek."

Kayen tanpa sadar menarik tangannya dari genggaman Jessica, lantas memalingkan wajah pucatnya. Entah mengapa, setiap diingatkan kembali dengan momen mengerikan itu; tentang apa yang bocah polos seusianya saksikan sore itu, tentang ciuman terlarang ibunya dan seorang pria asing di rumahnya sendiri, dan tentang hujan deras yang meredam semuanya baik-baik—Kayen merasa terluka sekali.

"Aku, aku nggak bisa bahas itu, Ma. Bi-bisa nggak, kita nggak usah bahas itu? Secuilpun, sesedikit apa pun?"

Karena Kayen tidak bohong bahwa dadanya bisa seketika sesak saat pikirannya hanya tertuju pada masa memuakkan lima tahun lalu itu. Anggap dia berlebihan, tapi hati anak mana yang bisa membenarkan perselingkuhan ibunya?

"Maaf, Dek." Selanjutnya, kepala Jessica tertunduk, ia benar-benar tak sanggup memandangi Kayen sekarang— malu lebih mendominasi. "Tapi, Kak Yoska udah nggak jahat sama Adek, kan?"

Kali ini, Kayen sigap menoleh ke Jessica dengan tatapannya yang menajam, baru berdesis, "Kak Yoska nggak pernah jahat sama aku, Ma."—justru yang jahat itu Mama, tentu Kayen membekap hatinya yang mati-matian ingin menyuarakan tambahan tersebut. "Aku cuman mau ingetin Mama, kalau sampe detik ini, aku masih ngelindungin Mama biar Kak Yoska, Kak Jarel, sama Kak Evraz nggak tahu soal itu. Aku masih punya perasaan biar Mama nggak dibenci anak-anak Mama sendiri—"

"—tapi, Adek udah benci Mama dari lama, kan?"

Kayen diam setelah sahutan Jessica, dia kembali membuang wajahnya menuju gulungan awan-awan mendung di luar jendela sana. Jessica hampir menyela lagi, tapi dia sendiri tidak sadar kalau Eden sudah berdiri di sampingnya.

"Aku udah bayar tagihan opname Kayen minggu ini. Hampir dua digit, Jess.”

Jessica jadi spontan berdiri, sehingga Kayen pun ikut menemukan sosok culas Eden sedang mengamatinya lamat-lamat.

"Kayen gimana kabarnya hari ini?"

Kayen benci sikap ramah dibuat-buat Eden, jadi dia mendecih pelan, "Baik dan semakin baik." Walau dipenuhi dusta, dia mengatakannya dengan kepercayadirian di atas rata-rata.

Eden tersenyum, sebuah senyum meremehkan teruntuk Jessica, "Mau lihat rincian biayanya?"

Jessica mendengkus, lalu buru-buru keluar kamar. Namun, sebelum Eden menyusul Jessica, ia menepuk bahu Kayen sekali dua kali sambil bergumam, "Istirahat, ya. Cepet sembuh. Kasian Mama kamu sedih terus."

Kayen bisa merasakan emosinya meluap-luap seketika, tapi dia bisa apa selain menahan itu semua?

Jadi, ketika orang-orang itu menyisakan dirinya sendiri di ruangan ini, tangisan yang selama tahunan ini tidak pernah Kayen tunjukkan pada siapa pun, akhirnya ia luruhkan pelan-pelan, akhirnya ia perdengarkan pada dinding-dinding ruangan ini.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang