23: alasan tidak logis

297 36 1
                                    



Menurut Himar gegabah, tapi menurut Kayen ini merupakan sebuah keberuntungan.

Setelah operasinya dua minggu lalu, Alka mengabulkan permintaan Kayen untuk dirawat jalan saja alias memang berhenti kemo, tapi tentu masih tetap dalam pengawasan. Sehingga, dia bisa kembali ke rumah mungilnya, ke kamar sempitnya, dan hidup selayaknya manusia normal.

Tanpa kemo dan bahan-bahan kimia itu, Kayen yakin rambutnya akan menebal lagi.

"Aku boleh sekolah?"

"Ngelunjak," decih Yoska, lalu mendadak sebal. "Udah diturutin pulang, masih aja minta aneh-aneh."

"Sekolah kan nggak aneh, Kak."

Yoska tidak membalas lagi, selanjutnya dia beranjak dari sofa dan meninggalkan Kayen di sana. Kemudian, dia berpamitan, "Gue berangkat, ya. Jangan ke mana-mana. Nurut sama Papa. Btw, mentang-mentang Minggu, Jarel sama Evraz molor sampe sesiang ini gitu?"

"Kakak ke kafe, kan? Aku boleh ikut?"

Yoska tidak perlu terkejut jika Kayen sengaja mengabaikan topik buatannya, jadi dia menghela napas sambil melirik ke pintu kamar yang terbuka. Di ranjang reyotnya sana ada Jarel dan Evraz yang sama-sama masih pulas.

"Nggak boleh sendirian. Bangunin kakak-kakak lo yang hobi ngebo itu dulu. Cepetan, Kay. Gue hampir telat nge-shift, nih."

"Beneran boleh?" Kayen refleks berdiri, dia justru tidak menyangka kalau tanpa dibujuk pun Yoska mengijinkannya keluar rumah. "Asik! Tunggu! Aku bangunin dulu Kak Jarel sama Kak Evraz."

Kayen bergegas melesat ke kamar Yoska, mengguncang badan kedua kakaknya yang masih terpejam dan sedang lomba mendengkur itu. Yoska tersenyum saat mengintip di ambang pintu-karena momen ini terasa nyata, karena setelah lima tahun berlalu, mereka berempat akhirnya bisa serumah lagi. Meski, dia tidak tahu apa alasan dua adiknya itu tiba-tiba ingin tinggal di sini. Memang mereka bilang hanya untuk sementara, tapi ini sudah hari ketujuh, kan?

"Kamu ajakin mereka ke kafe?"

Yoska sigap menoleh, ada Himar berdiri di sebelahnya.

Dia mengangguk, "Papa mau ikutan?"

"Nggaklah. Papa mau cari kerjaan lagi."

Ketika Himar menepuk bahu Yoska sekali, saat itu juga Kayen hadir dengan wajah memberengut. Ia mengomel, "Susah banget dibangunin. Emang Kak Jarel sama Kak Evraz semalem begadang? Nonton apa? Nonton bok—"

"—ssh!" potong Evraz, panik. Dia buru-buru menyusul ke sini dan langsung membekap mulut adiknya itu. "Ngaco, ah. Nggak nonton gituan. Orang nonton anime kita. Kak Yoska, noh, yang milihin judulnya. Seru, jadi kebabelasan."

"Mmph!"

"Eh, iya, lupa." Evraz baru sadar sudah terlalu lama membungkam Kayen, lalu dia menggaruk tengkuknya sendiri. "Sori."

Kayen mencebik, tapi tetap menerima rangkulan Evraz, "Masa? Aku denger, loh, ada desah-desah—"

"—heh!" putus Jarel. Seketika sudah bergabung dan sigap menyikut pelan rusuk Kayen. "Salah denger lo, Kay. Kan kalau anime emang pengisi suaranya orang Jepang, tahu sendiri gimana nadanya."

"Papa, aku nggak percaya."

"Ye, tukang ngadu," celetuk Yoska, yang malah dibalas tawa Himar. "Kagak, suer. Emang itu anime, kok. Ya kali umur segini masih nonton gituan—"

"—berarti pernah lihat, kan?"

Yoska, Jarel, dan Evraz serempak menertawakan pertanyaan Kayen barusan.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang