Himar mengajak Evraz pulang sebab dia tahu anak nomor tiganya itu sudah banyak membolos sekolah setiap Kayen harus tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit. Sementara Yoska dan Jarel,yang bilang bila besok mereka tidak ada kelas, memilih untuk tinggal di sana, bermaksud untuk menemani Jessica dan Kayen.
Ini jam tiga dini hari, dua jam lagi Himar harus membangunkan Evraz untuk berangkat ke sekolah. Namun, bukannya menidurkan diri, dia malah ingin mengintip ke kamar si mata sabit itu. Perlahan, dia dorong pintunya dan hanya menemukan suasana kamar yang gelap gulita, tapi dia tak salah jika menangkap sebuah isakan.
Ketika Himar menekan saklar, sosok Evraz yang duduk di atas ranjang sambil memeluk lututnya sendiri itu tampak seutuhnya. Meski wajahnya dibenamkan, Himar bisa menebak kalau air mata sudah membanjir di sana. Kemudian, begitu dia sampai di dekat Evraz, batinnya jadi seketika mencelos.
"Hei. Evraz.”
Evraz spontan mendongak, baru sadar bila dia tak sendirian di sini. Saat mendapati wajah sendu Himar, dia buru-buru menyeka air matanya, lalu berujar, "Papa. Kenapa nggak tidur?"
"Kamu sendiri? Nggak bisa tidur?"
Evraz terhenyak sesaat, dia tidak punya alasan apa-apa untuk membela diri, sehingga dia memilih diam.
"Sini.” Kemudian, Himar menyediakan dadanya agar bisa dijadikan sandaran kepala Evraz. "Jangan mikir aneh-aneh. All is well. Everything's gonna be alright. Okay?"
"Kalau Kayen pergi, what will we do?"
"Nggak." Sedetik itu pula, Himar langsung menepis. "He won't leave us. Not now. Not tomorrow. Not—"
"—but who knows?"
"Evraz," rajuk Himar, lalu beralih menghujani kening Evraz dengan kecupan. "Can we just have that high hopes, please?"
"Aku nggak bisa bayangin gimana aku kalau Kayen ninggalin kita, Pa." Ungkapan Evraz diakui Himar benar adanya. Dia juga tidak punya gambaran apa-apa bila hari itu benar-benar datang. Sembari mendengarkan, dia pun membelai puncak kepala Evraz, berharap dengan ini ketakutannya bisa berkurang. "Aku belum punya banyak waktu, aku belum punya banyak momen, yang bisa aku kenang seandainya Kayen udah nggak kuat ngelawan sakitnya."
"Evraz," panggil Himar, matanya tiba-tiba memanas. "Don't make it hard. Ayo, tetep berjuang dan bertahan demi Kayen. Bantuin kita.”
Meski mereka sama-sama menyimpan keraguan yang kian hari kian menggebu, tapi masih ada satu pemikiran bahwa keajaiban itu nyata adanya.
Evraz melirik, "Bantu apa, Pa?"
"Bantu kita buat nggak mikir ke arah sana. Bantu kita buat buang jauh-jauh fakta bahwa makin hari Kayen makin
lemah. Bantu kita buat nggak tampak terpuruk di depan Kayen yang—Papa rasa udah fokus sama tujuannya buat ninggalin kita. Please. Papa mohon, ya?"Ketika Evraz akhirnya mengangguk, tangis mereka berdua pecah dan bergabung jadi satu—terdengar menyakitkan, perih, dan pedih secara bersamaan.
***
Saat Kayen berbisik—'I just wanna go home'—tepat di telinga Jessica, saat itu juga dia kabulkan permintaannya, tanpa dipikir lagi dan tanpa ditimbang lagi. Maka, Kayen sudah duduk di meja makan bersama keluarganya sekarang. Ada Himar, yang bersiap berangkat kerja. Ada Jessica, yang sedang membuatkan sarapan Kayen, dan ada Yoska, Jarel, serta Evraz yang bergeming memandangi sepiring nasi goreng di hadapan masing-masing.
"Makan aja. Aku nggak papa, kok."
"Ganti selang dulu, ya, Dek," kata Jessica seraya membenahi selang baru Kayen. Lalu, melirik Himar ketika dia merasa kesulitan. "Uh, Himar, could you help me?"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...