17: merencanakan penyelamatan

304 33 0
                                    

Kayen memandang pantulan dirinya lewat cermin dan semua yang terpancar di sana serupa kutukan; dia terlihat sangat kurus, pipinya tirus, matanya cekung, wajahnya pucat, bahkan rambut-rambutnya menipis. Kayen menghela napas sebentar, memikirkan bagaimana caranya tampak seperti orang sehat saat datang ke kelasnya besok—untuk pertama kali setelah sekian lama. Karena Kayen harus memaksa Dokter Alka dan kedua orang tuanya—yang melarangnya sekolah—dia jadi harus membuktikan bahwa dia akan baik-baik saja di sana.

"Fisika, Kimia, Bahasa Inggris, PKN, sama Kesenian."

Kayen bergumam seraya memasukkan satu persatu kelima buku-buku cetaknya ke ransel—sesuai jadwal pelajaran untuk hari Senin. Lantas, dia kembali menuju ranjangnya, merebahkan diri, dan memejam sebentar. Kayen tahu setiap hari akan ada waktu di mana dia kambuh, dia tahu dia akan tersiksa, paru-parunya tentu berulah tanpa peduli ada di situasi macam apa nanti.

Malam ini, Kayen belum menemui pesakitannya. Jadi, dia menyempatkan diri untuk meraih kamera Nayva di nakas, kemudian mengarahkan lensa itu agar merekam wajahnya sendiri.

"Halo. Hai. Aku Kayen," sapa Kayen dengan sebuah lambaian. Ada senyum merekah yang ia tunjukkan cuma- cuma. "Aku nggak yakin, tapi aku lagi berusaha mikir kalau aku bakalan lama ada di dunia ini. Jadi, aku bikin video biar siapapun yang nonton nantinya bisa tahu aku udah berhasil buat mimpi apa aja."

Anggap Kayen sedang melantur, tapi dia memang tidak tahu tengah membicarakan apa.

"Papa sama Mama itu orang tua yang nyaris sempurna buat aku. Nyaris, soalnya Mama ternyata udah nggak sayang sama Papa lagi." Kalimat ini justru menambah sesak di dadanya, jadi Kayen perlu menjeda beberapa saat. "Nggak papa, mungkin Mama cuma marah sama kondisi perekonomian kita, makanya Papa jadi kena imbasnya gitu."

Kemudian, Kayen menunduk, tak berapa lama dia mendongak lagi dengan mata sembab.

"Papa sama Mama kayaknya nggak bisa rujuk. Padahal aku cuman mau kita berenam tinggal serumah lagi, ngobrol di ruang tengah barengan, makan rame-rame di meja makan, sama saling meluk kalau udaranya lagi dingin banget."

Kali ini, Kayen perlu menyeka air matanya sebelum buru-buru mematikan kamera karena tanpa aba-aba Yoska sudah muncul di ambang pintu kamar. Dia berdiri angkuh sambil bersedekap acuh.

"Ngapain lo?"

Kayen menggeleng cepat. "Abis nangis? Dih, banci."

Kayen masih diam saat Yoska mulai mendekat padanya.

"Kenapa? Lo kangen Mama? Lo kangen Jarel sama Evraz? Iya?" Yoska berseru tanpa Kayen tahu apa maksudnya datang kemari. "Kalau kangen, kenapa lo kudu balik ke sini, hah?"

Kayen mengerjap sembari terburu mengalihkan, "Kakak ada perlu apa? Kakak butuh apa?"

Namun, Yoska malah melengos, sengaja membuang wajah sekilas, kemudian kembali menatap tajam mata Kayen, baru berdesis, "Gue cuma pengen tahu. Kenapa kalian harus nyembunyiin penyakit lo dari gue, sih?"

"Aku nggak sakit separah itu—"

"—apa lo takut kalau gue tahu penyakit lo, gue bakalan depresi terus nyesel udah nyakitin lo selama ini?" sengit Yoska. "Jangan mimpi, deh."

"Kalau Kakak tahu, kejutan aku nggak berhasil nanti—"

"—kejutan apa?"

Kayen bukan sedang berdalih tidak ingin menjawab pertanyaan Yoska, tapi sungguh sekarang ini paru-parunya terasa sangat berat, napasnya kembali terputus, sesaknya mendera, dan Kayen tahu ini saatnya ia berada di titik terendahnya lagi.

"Kak—uhk—uhk." Kayen mulai terbatuk, tapi Yoska masih belum mau peduli. "Uhk—uhk—uhk."

Batuk Kayen semakin parah, semakin berkelanjutan, tidak bisa berhenti, dan tidak bisa dijeda. Kini pandangannya turut berkunang, pun dengan kepalanya yang berdenyut. Kayen berhasil menggapai tangan Yoska, tapi gagal untuk menahan muntahan darah dari mulutnya.

A Dream No One Will Believe [✓] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang