Kayen tidak tahu harus bicara apa dan harus bersikap bagaimana sebab dia masih belum percaya kalau Devon sekarang ada di teras rumahnya.
"Sori, rumah aku sempit." Akhirnya, cicitan Kayen mengurai keheningan yang berlangsung sekian menit tadi. "Tapi, kenapa Nayva bawa Devon juga? Ada perlu apa, ya?"
Devon terpaksa mengulum kalimatnya saat Nayva sudah lebih dulu mengisi kekosongan itu.
"Devon pengen jengukin lo juga, Kay. Dan sori gue jadi ngasih tahu dia lo sakit apa."
Devon sekejap itu menangkap ketakutan di wajah Kayen, sehingga dia buru-buru berdeham, "Gue baru tahu kalau asma ternyata bisa lari ke kanker paru juga." Memang sebuah basa-basi, setidaknya dia hanya ingin Nayva berpikir bahwa dirinya tidak sedang berpura-pura. “Cepet sembuh.”
Kayen bingung, dia benar-benar tidak tahu harus berkomentar apa tentang penyakitnya sendiri. Jadi, dia menggigit bibir, lalu tersenyum getir, meski tanpa disaksikan Devon atau Nayva, baru bergumam, "I-iya, aku juga nggak tahu tiba-tiba jadi gini. Makasih.”
"Dokter ngomong berapa lama lagi waktu lo hidup di dunia—”
“—Von! Nggak usah ngaco, deh! Kay, nggak usah dipikirin, ya."
Devon bungkam saat Nayva memelototinya, tapi Kayen justru tertawa.
"Untungnya, nggak bilang."
Setelah tiga kata singkat dari Kayen, atmosfer kembali canggung. Devon diam menunggu topik baru, Nayva sedang berpikir keras harus membicarakan apa, sementara Kayen juga tidak punya hal menarik untuk diceritakan.
Namun, di sela itu, sebuah mobil hitam tiba-tiba berhenti di depan rumah, sehingga Kayen refleks berdiri dan malah menemukan Yoska; dengan wajah memerahnya, dengan mata berkilatnya, dan dengan rahang mengerasnya, berderap menghentakkan kaki untuk tak serantan menghadap dirinya. Bahkan, dia tak menyapa Kayen dan teman-temannya, tapi langsung mempertanyakan keberadaan Jessica.
Seketika itu, Kayen tahu ada yang tidak beres di sini. Maka, dia terburu menyapa, "Kak—"
"—Mama di dalem, kan?"
Kayen belum sempat membalas Yoska, tapi dia sudah lebih dulu dihadang Jarel dan Evraz yang sedang sama-sama panik. Karena Kayen paham situasi dan kondisi di sini tak begitu baik, dia pun buru-buru beralih pada Devon dan Nayva, sengaja membiarkan dua kakaknya menyusul Yoska ke dalam rumah.
"Sori, aku bukannya maksud ngusir, tapi kayaknya suasana di sini lagi nggak kondusif."
Devon berdiri, dia bahkan sigap menggamit jemari Nayva yang Kayen saksikan dengan sedikit rasa tidak terima. Nayva sendiri malah merasa bingung, tapi tidak tahu harus melakukan apa, sehingga dia hanya bisa tersenyum dan mengangguk sekilas—juga melepaskan diri dari genggaman tangan Devon.
"Kalau gitu, gue sama Devon pulang, ya, Kay."
Kemudian, Kayen mengantar Nayva dan Devon sampai motor yang ditumpangi keduanya menjauh dari rumah ini.
"MAMA TERNYATA TEGA BANGET, YA?! JANGAN LIHAT AKU SAMA PAPA, DEH! LIHAT ITU KAYEN!"
Kayen tentu dengar gelegaran Yoska dari tempatnya berdiri di depan pagar sini. Dia ingat Himar belum pulang. Dia sungguh tidak tahu akan menghadapi apa saat masuk ke sana. Namun, tentu tidak ada pilihan lain selain melangkahkan kaki-kaki gemetarnya untuk tahu-tahu saja bergabung dengan ibu dan ketiga kakaknya dalam atmosfer setegang ini.
"PAPA SAMPE DEPRESI, LOH, MA! BISA-BISANYA MAMA PAKE ALESAN EKONOMI SAMA ASMA KAYEN CUMAN BUAT LAKI-LAKI BRENGSEK ITU?!"
Jessica tergelagap sesaat, masih tidak tahu harus mengatakan apa, sehingga dia hanya bisa memundurkan langkah. Sementara itu, Yoska terus memangkas jarak dengannya, sengaja mengintimidasi. Jarel dan Evraz tentu tidak bisa membela apalagi sampai membenarkan Jessica, mana mungkin mereka setuju-setuju saja keluarganya yang harmonis dulu telah diporakporandakan oleh laki-laki bejat lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
A Dream No One Will Believe [✓]
Teen FictionAnak-anak korban perpisahan orang tua selalu tak bahagia, sekalipun mereka tampak baik-baik saja. Keempat remaja laki-laki ini pun tidak pernah benar-benar menikmati kehidupan baru mereka yang memiliki banyak perubahan. Yoska, Jarel, Evraz, dan Kaye...