"Lo tau nggak apa yang menarik dari bumi?" Tanya Raga.
Arunika yang berada di dekatnya tampak berpikir. "Karena bumi tempat kita hidup?" Tebak perempuan itu.
Raga terkekeh pelan mendengarnya. Sekarang, mereka tengah menikmati suasana pagi di puncak. Tepat pukul 5:45. Sementara yang lain masih pulas di dalam tendanya. Hendra sendiri yang tidur di hammock, barusan pindah ke tenda setelah salat subuh. Salat subuhnya setengah enam. Yah, sedikit plusnya laki-laki itu, sebagai senior ia tidak hanya memberikan contoh perlakuan baik kepada juniornya, tapi juga dalam hal ibadah. Perlu dicatat, bahwa Hendra termasuk orang yang menjaga salatnya. Katanya, umurnya semakin tua, takut saja kalau lagi muncak tiba-tiba dimakan hewan buas dan meninggal, kan berabe tidak ada bekal, kecuali pop mie yang dibawanya muncak.
Kembali pada Aruni dan Raga. "Hmmm sedikit benar sih, tapi ada yang lebih tepat," ujar Raga menanggapi jawaban Aruni barusan.
"Apa?" Kening Aruni berkerut.
"Jadi, yang menarik dari bumi itu, dia gak pernah milih-milih penghuni, semuanya ditampung. Gak peduli lo jahat, lo baik, lo durhaka, lo alim, lo miskin, lo kaya, lo sakitan, lo sehat, lo bermasalah, lo aman banget hidupnya, lo lo semua, semuanya ditampung. Dia menjalankan tugas dari Tuhan dengan baik, menerima apa yang diberikan dengan rela. Harusnya manusia juga begitu, belajar menerima semua yang datang pada dirinya. Toh lihat bumi, manusia jahat, manusia baik, semuanya bakal meninggal pada intinya, semuanya bakal ninggalin bumi. Begitu juga dengan manusia, masalah berat, masalah ringan, bahagia berlebihan, bahagia sederhana, semuanya bakal meninggalkannya. Jadi, intinya, jadi manusia itu yah terima saja apa yang ada."
Aruni menatap Raga tidak percaya. Pintar sekali laki-laki itu menganalogikan manusia dengan bumi. "Dan inti yang mau lo sampein ke gue apa, Ga?"
Raga ikut menoleh pada Aruni. "Lo berdamai sama keluarga lo yah? Terima semuanya, semuanya bakal baik-baik saja." Laki-laki itu mengakhiri kalimatnya dengan senyuman tulus.
Sial, Raga menasihati Aruni untuk berdamai saat dirinya jauh dari kata damai itu.
"Cukup gue aja yang gak bisa nerapin sifat bumi dalam diri gue, lo jangan." Kalimat Raga itu berhasil membuat kalimat Aruni yang hendak menyanggah tertelan kembali.
"Bi Irni cerita?"
Aruni tahu apa yang dimaksud oleh Raga. "Gue yang tanya."
Raga terkekeh pelan mendengar kejujuran Aruni. "Lo tertarik sama kehidupan gue, Runi? Atau sama guenya?" Goda laki-laki itu.
"Kalo gue jawab dua-duanya gimana?" Tantang Aruni.
Raga kembali terkekeh. "Janganlah, nanti lo tersesat di kehidupan gue."
Aruni tersenyum kecut. "Bilang aja, kalo kehidupan lo, udah lo siapin buat seseorang, Ga, jadi gak guna gue tertarik."
"Maaf," ucap Raga pelan.
Selanjutnya terjadi keheningan beberapa menit hingga Aruni memulai kembali percakapan di antara mereka.
"Gue tau, perkelahian kalian, lo sama Dio kemarin itu, dan sindiran-sindiran yang lain ke lo, itu semua karena gue kan?" Aruni menatap Raga yang menatap lurus ke depan.
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia malah menarik napasnya panjang, lalu menghembuskannya. Detik berikutnya, ia merasakan getaran di kantong jaketnya. Ia langsung memeriksa ponselnya yang berada di dalam sana. Sepertinya ada jaringan yang nyangkut.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA (SELESAI)
Teen FictionHanya kisah sederhana yang lahir dari imajinasi anak manusia. Tidak menjanjikan manfaat, tapi mengharapkan keluasan hati dari yang membacanya, agar dapat memetik satu makna saja di sepanjang alur cerita. Mohon maaf jika tokoh-tokohnya tidak terlalu...