Epilog

254 15 11
                                        

Pada matahari pagi yang selalu punya cara untuk kembali membuka hari, terima kasih kuucapkan, atas senja yang selalu diberinya kesempatan untuk terlihat lagi, lagi dan lagi.

Bersamaan dengan kututupnya note kecil yang selalu kubawa, seorang laki-laki datang membawa dua cangkir kopi di kedua tangannya. Ia kemudian meletakkannya di depanku disertai senyuman yang refleks tertular di bibirku pula senyuman itu.

"Coffe Arunika," ucapnya sambil duduk di sofa panjang depanku - diantarai meja kaca.

Aku tertawa mendengarnya. "Harus banget yah pake namaku?"

"Kamu mau, aku ganti dengan nama wanita lain?" Tanyanya menantang.

Wajahku masih tersenyum padanya sambil kugelengkan kepala. "Nggak." Aku lalu meminum kopi yang dibawakannya tadi.

"Gimana? Udah pas belum?" Tanyanya tidak sabaran.

Aku mencoba menimang-nimang komentar yang akan kuberikan, lalu dengan masih tersenyum aku memuji kopi buatannya, "perfect," ucapku yang tentu mengundang bahagia di wajahnya.

"Berarti besok udah bisa launching dong menu terbarunya?"

Aku mengangguk menyetujui idenya. Sayang juga kalau ditunda, dia sudah bekerja keras untuk menghasilkan rasa baru untuk menu barunya, dan bagiku yang selalu menjadi tolak ukur perasanya, rasanya sudah pas dibanding yang setiap hari ia cobakan untukku dalam 2 pekan terakhir ini.

"Terima kasih, Ga," kataku tiba-tiba di tengah binar bahagianya.

Mendengar ucapku barusan, ia lalu menatap mataku dengan dalam, dan dapat kupastikan ada cinta yang begitu besar di dalam sana.

"Apapun, Arunika," sahutnya dengan senyuman.

"Dengan cara apa aku membalasnya?"

"Tetap di sisiku, itu aja," jawabnya lugas.

Aku menghela napas, lalu berpindah duduk di sebelahnya. Tanpa segan, aku mendekatkan diriku padanya, dan memeluk lengannya sambil kusandarkan kepalaku di bahunya. "Aku bakal tetap di sini, di sisi kamu."

Ia menggenggam jari-jariku sambil tangannya yang satu mengusap-usap cincin yang berada di jari manisku, cincin yang tersemat satu bulan lalu, di hari bahagia kami.

"Pekan depan, di nikahannya Bi Irni, nyokap balik," ucapnya tiba-tiba.

Aku mengeratkan genggaman kami, dan tanganku yang satu mengusap pelan bahunya. "Berdamai yah, Ga?" Pintaku sambil kulirik wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku.

Seperti anak yang patuh pada ibunya, Raga mengangguk dengan senyumnya, ia lalu membawaku dalam peluknya dan mengecup kepalaku penuh cinta. Di saat bersamaan, jendela di depan kami sedang memperlihatkan senja yang sedang cantik-cantiknya bergegas untuk tenggelam.

"Sampai kapanpun, jika senja itu mengharuskan kita untuk tenggelam, kita akan tenggelam bersama, hingga nanti ...," bisik Raga di telingaku.

Sayup-sayup suara azan terdengar, dan mengharuskan kami beranjak dari duduk. Aku dan Raga pun bergegas menuju masjid tempat Alfatih. Kami, berusaha menjadi hamba yang patuh, sebab Tuhan sudah sangat baik pada kami. Di setiap senja yang membuat kami tenggelam, Tuhan selalu menerbitkan matahari pagi untuk menjadi alasan buat kami bersyukur.

_Arunika

🌅🌅🌅

Selanjutnya ... mau cerita apa? Friendzone? Senior junior?

ARUNIKA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang