Raga yang sedang sibuk di balik meja bar harus terusik dengan kehadiran Hesti -- salah satu karyawannya di kafe -- yang barusan mengantar pesanan pelanggang. "Ga, di depan ada perempuan yang mau ketemu sama owner kafenya, katanya dia gak terima namanya dijadiin nama kafe ini."
Raga mendongak dengan kening mengerut. Apa ia tidak salah dengar? "Namanya Arunika?" Tebak Raga dan dibalas anggukan oleh Hesti.
Raga mendengus, kok ada yah orang seperti itu? Tidak tahu apa istilah kebetulan? Oh ayolah, meski Raga percaya, bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan, tapi untuk soal nama seseorang yang mirip dengan nama kafenya? Oh maafkan, untuk hal ini Raga mentolerirnya, tapi kenapa orang itu mempermasalahkannya?
Dengan sedikit dongkol, Raga melepas celemeknya dan berjalan keluar kafe. Ia sudah biasa meladeni customer yang komplain beberapa hal dari kafenya, baik itu pelayanannya atau fasilitas yang ada, tapi untuk urusan nama kafe? Oh sudah hampir satu tahun kafenya berdiri dan baru kali ini ada yang komplain urusan nama.
Raga melihat perempuan berkerudung coklat dengan balutan baju tunik dan celana kulot yang berwarna senada - persis penjelasan Hesti. Sebelum menghampiri, Raga memastikan orang itu adalah orang yang dimaksud oleh karyawannya; masa iya, cewek berkerudung komplennya masalah nama kafe orang? Tapi benar itu yang dimaksud Hesti. Zaman sekarang, kita mana tau orang dari luarnya.
Raga pun mengayungkan langkahnya menghampiri cewek berkerudung yang tengah membelakanginya itu. "Permisi, Mbak, Mbak yang hendak ketemu owner kafe?"
Sambil membalikkan badan, perempuan berkerudung itu berucap, "Saya tidak terima nama saya dijadiin nama kafe tanpa izin saya."
Saat tubuhnya menghadap dengan sempurna pada Raga, laki-laki itu malah menatap tidak percaya apa yang dilihatnya kini. Sementara cewek yang di depannya itu terkekeh melihat ekspresinya. "Aruni?" Ucap Raga terbata.
Aruni melambaikan tangannya di depan cowok itu. "Bisa dijelaskan kenapa nama saya di sana terpajang?"
Raga baru tersadar atas kekagetannya, ia kemudian tertawa konyol -- menertawakan dirinya. Ia menunjuk Aruni. "Kamu ngerjain aku, Runi?" Bahkan Raga tidak sadar dengan kalimatnya barusan yang menggunakan kata aku-kamu. Seingat Aruni, terakhir mereka mengobrol, Raga masih menggunakan kata lo-gue.
Aruni tersenyum pada laki-laki itu. "Gue mau pesan menu favorit kafe ini, dan gue mau ownernya nemenin gue makan, sambil jelasin kenapa nama gue bisa dia pake untuk kafenya."
Raga kembali tertawa. Kini tawanya lebih normal, entahlah perasaan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Intinya ia rasanya sedang terbang. Ia kemudian menghela napasnya, mengendalikan perasaannya. "Baiklah, customer spesial, harus dapat pelayanan spesial pula," kata Raga tanpa mengalihkan pandangannya pada Aruni. "Aii di sini tempatnya sama semua, gak ada VVIP, gimana yah?"
Aruni terkekeh melihat Raga yang kebingungan. "Gimana kalo di situ aja?" Aruni menunjuk meja outdor yang berada di bawah pohon rindang. Raga ikut menoleh ke arah tunjuk Aruni. Ia kemudian tersenyum, dan mempersilakan gadis itu. "Mari saya antar," ucapnya sengaja dengan kata formal.
Aruni sejenak menatap Raga dengan senyuman yang tidak lepas dari wajahnya, lalu melangkahkan kakinya diikuti oleh Raga. Laki-laki itu dengan sigap menarikkan kursi untuk Aruni. "Terima kasih," kata Aruni, lalu duduk.
"Ya udah, tunggu di sini yah, gue masuk dulu?" Kata Raga dengan kesadarannya kembali menggunakan kata gue-lo. Aruni mengangguk, dan saat Raga sudah melangkah gadis itu memanggil.
Raga menoleh. "Jangan lama yah?" Kata Aruni membuat senyuman Raga seketika terbit, dan langsung membalas dengan anggukan. Laki-laki itu kemudian berlari-lari kecil memasuki ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNIKA (SELESAI)
Novela JuvenilHanya kisah sederhana yang lahir dari imajinasi anak manusia. Tidak menjanjikan manfaat, tapi mengharapkan keluasan hati dari yang membacanya, agar dapat memetik satu makna saja di sepanjang alur cerita. Mohon maaf jika tokoh-tokohnya tidak terlalu...